Smiley

9:20:00 AM
2
Memilah antara barang milik pribadi dan orang lain mungkin perkara sepele bagi manusia dewasa seperti kita. Kecuali para koruptor tentunya, dan tamakun dunia. Seperti tingkah anak kecil macam Tiyan yang cerdas ini. Dia adalah seorang keponakan yang masih belum mengenyam bangku sekolah. Yah, kadang-kadang kursi ruang tamu yang ia mainkan. Seolah mobilnya, semua yang ada di ruang tamu diklaim sebagai miliknya.

Ingin Mobil
#Beemoslem
Seringnya dulu, saat kita masih kanak-kanak berebut sepotong ayam goreng dengan adik kita masing-masing. Sebesar apapun fakta yang kita gunakan sebagai argumen mentah hanya dengan 'seekor' tangisan. Ya, Si Kecil Diktator (baca: Balita yang Menjadi Diktator), adik kita tersayang yang selalu mengklaim makanan terbaik. Secuil pun tidak akan dibagikan kepada kakaknya, sesudah ngeces pun. 

Itu dulu, kemudian sekarang, saat kita yang harus menghadapi keponakan-keponakan pintar yang sedang berperang demi makanan itu kewalahan juga, ya. Yakni perkara kasih sayang atau keadilan yang kita menangkan. Belum lagi efeknya bagi Sang Kakak dan Si Adik di masa yang akan datang. Karena pengalaman tersebut, bisa menjadi pemicu bagi mereka untuk mendefinisikan hak milik.

Aih, rumit. Kenapa tidak kita pikirkan dengan sederhana saja, sih. Kita bagi sesuka kita, kasih sayang itu. Hari ini, saat itu juga, tidak peduli fakta-fakta atau hal lain. Apatah algi soal pengajaran dan pendidikan. Toh, kita tidak sedang mengajar para koruptor. Yang barangkali memang harus dipotong tangannya agar faham makna 'mencuri'.

Cerita ini memang hanya sepotong kecil saja dari kisah sehari-hari. Yang akan kita hadapi, mungkin masih jauh juga, nanti. Tetapi bekas-bekas masa kecil itu kadang terlintas di dalam benak kita, saat godaan datang. Terhadap sesuatu yang bukan milik kita, tetapi menarik dan kuasa untuk mengambilnya kita ada. Manusia, dalam hidupnya belajar banyak hal tentang orang lain. Bukan suka-suka gue dengan berlindung dibalik ketiak HAM. Atau sekedar 'asal tidak' mengganggu orang lain. Karena bisa jadi, para koruptor tidak merasa 'mengganggu' juga.

Kita bisa lihat di dalam nyata, di sekian banyak mall-mall, ketika kita menajdi manusia hedonis yang begitu mudah mengeluarkan uang karena ingin. Bukan tersebab butuh. Para koruptor itu sangat mungkin berlandaskan tingkah kita saat berada di dalam mall. Dan secara tidak sadar kita juga melakukan hal yang sama dalam dosis yang bisa ditiadakan, oleh kita. Manipulasi jam lembur, agar pada sat akhir bulan ada tambahan 'dollar' untuk menyicil gadget yang diidamkan. Apalagi jika keluaran terbaru yang harus antri untuk sekedar 'ngutang'. Atau, ... tiket promo ke adventuring island!

Ups, jadi ngelantur sampai bawa-bawa pengalaman pribadi kita bersama. Sayangnya, ada juga pribadi berintegritas yang bekerja sangat profesional larut dalam budaya itu juga. Karena fakta di lapangan begitu menggoda, ditambah dengan picture shot yang delicious dari sepotong kisah culinary travel, contoh lain. Ditarik oleh godaan untuk meraih apa yang tidak dimilikinya. Berakibat kisah klasik tagihan kartu kredit yang membengkak di depan mata. Atau bagi yang anti KK, tanggal 15 sudah menikmati stok mie instant di lemari dapur. Yang bahkan kawan serumah tidak pernah tahu keberadaannya. Alamak! Kerasnya keinginan hidup! 

2 Komentar: