Smiley

10:30:00 AM
0
Kita mungkin tidak akan pernah mendengar ungkapan terkenal itu, "door duisternis tot licht."  Yang diterjemahkan oleh Armyn Pane, "Habis Gelap Terbitlah Terang," dalam sebuah buku kumpulan surat. Namun, ada jaminan keasingan yang kita tangkap saat mendengar Nama Kiyai Haji Shaleh Darat. Siapakah beliau, yang juga dikenal dengan Syeikh Muhammad Shalin bin Umar As Samarani? Tidak banyak yang merasakan jejak beliau dalam perkembangan islam di Indonesia kini.

Beliau ada tiga serangkai legendaris dari Indonesia, bersama dengan Syeikh Nawawi Al Bantani dan K.H. Muhammad Chalil Bangkalan. Yang bertemu dalam satu majelis, selama pengembaraan ilmu di tanah Makkah. Kemudian menjadi bagian dari pergerakan perlawanan sosial terhadap pemerintah kolonial Belanda. Yang bahkan kemudian Snouck Hurgronje merasa perlu membuat surat perintah penulisan gelar Haji kepada semua alumni makkah.

Surat Gus Mus
#Beemoslem Surat Gus Mus di muktamar NU 33

Menantu K.H. Murtadho Darat Semarang tersebut kukuh sebagai 'alim 'ulama dalam pesantren sesuai tradisi pendahulunya. Menjadi pejuang dalam menggerus pengaruh mistis dan budaya yang disisipkan oleh jesuis (misionaris dari Belanda) dalam banyak karya sastra jawa. Meskipun secara luas gerakan ini selalu mendapat halangan dari Pemerintah. Yang kadang memanfaatkan mufti yang mereka angkat sebagai penguat kebijakan.

Raden Ajeng Kartini, yang tak juga tidak, tertarik dalam kharisma K.H. Shaleh Darat. Dalam sebuah kajian surah Al Fatihah, di pendopo paman beliau. Hingga terilhamkan kepada beliau, "mengapa selama ini para 'ulama melarang keras." Sebagai ungkapan kesedihan karena terlewat dengan makna yang dalam dari ummul qur'an tersebut. "Bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan?" Menghenyak batin Sang Kiyai, untuk pekerjaan besar yang terlupakan.

Dari pertemuan dengan kemenakan Pangeran Ario Hadiningrat itulah, Sang Guru, bertekad untuk mencari cara menerjemahkan Al Quran. Walaupun telah mafhum dengan fatwa mufti yang melarang keras segala penerjamahan kalam Allah dalam bahasa apapun. "Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup ..." selalu meresap dalam sanubari, menjadi penguat ikhtiar Sang Guru.

Kemudahan datang dari Allah, sebagaimana kebiasaan Sang Guru menulis karya dalam bahasa Jawa. Dengan memanfaatkan seni tulis arab pegon. Ketidaklaziman inilah yang dapat dimanfaatkan untuk melindungi karya terjemah Quran yang telah beliau azzamkan untuk ditulis. Kitab Faidhur Rahman, literasi islam dalam menafsirkan Quran pertama di Nusantara dalam bahasa jawa. Menjadi hadiah pernikahan Raden Ajeng, yang paling indah.

 Banyak lagi karya Sang Guru, yang juga mewarnai dua tokoh pergerakan Islam Indonesia. K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. adalah murid beliau. Bahkan gelaran beliau adalah Moyangnya 'ulama yang tersebar di Indonesia. Dalam prolog karya beliau, sekitar 12 kitab, selalu diulang, "buku ini dipersembahkan kepada orang awam." Walaupun keilmuannya disejajarkan dengan dua sahabatnya masih saja beliau menambahkan, " ... dan orang-orang bodoh seperti saya."

Kini, mungkin tidak banyak yang faham tulis-menulis pegon. Kecuali para santri yang belajar di pesantren salaf. Yang tetap memegang tradisi kuat metode pengajaran kitab syarah dengannya. Bahkan kemudian sudah banyak kitab yang telah menggunakan bahasa indonesia dalam aksara pegon di kalangan pesantren di jawa. Dan mungkin, para santri telah lupa dengan perjuangan yang terus-menerus dari Sang Guru. Oleh tuntutan perkembangan keilmuwan modern.

0 Komentar:

Posting Komentar