I Made Yudhistira Dwipayama, M.Psi dalam sebuah jurnal berjudul, "Gambaran Kepribadian dan Psychological Well-being Ditinjau Berdasarkan Golongan Darahnya," mencoba memberikan analisa dengan metode cross culture. Sebagaimana dipahami oleh beliau, bahwa kepribadian berdasarkan golongan darah sangat berpengaruh dalam budaya masyarakat Jepang. Banyak kriteria hubungan sosial didasarkan pada golongan darah, seperti dalam pekerjaan, kepemimpinan, hubungan pribadi dan pernikahan, pendidikan, dll.
Pandangan masyarakat Jepang tersebut, lebih jauh juga menimbulkan beberapa efek negatif. Terutama pada orang dengan golongan darah AB, yang dianggap minoritas dan paling tidak disukai. Mereka dianggap sebagai orang yang kurang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Sementara, masyarakat Jepang sangat respek terhadap orang O dan A, yang dianggap sebagai ''pemimpin'' dan "profesional".
Dalam tulisannya, Kepala Sub Bidang Program Diklat pada BKKBN tersebut menggunakan dasar - dasar sifat kepribadian pada teori Big Five. Yaitu, extraversion, emotional stability, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience. Referensi lain diperoleh dari Warren Norman yang mendefinisikan poin keempat sebagai culture, sedangkan Lewis R. Goldberg memberikan definisi dalam surgency (extra-version), agreeableness, conscientiousness, neuroticism (emotional stability), dan intellect (openness to experience). Alasan utama dari penulis menggunakan dasar teori ini karena kecenderungan hasil (dalam banyak penelitian) yang menunjukkan kestabilan dalam aplikasi terhadap budaya, situasi dan pertimbangan kepribadian di awal dewasa muda.
Untuk memudahkan, dari trait di atas kemudian dibagi lagi dalam beberapa faset (NEO PI R, NEO - Personality Inventory - Revised). Dalam dunia psikologi, skala penilaian ini telah dibuatkan standardnya o-leh McCrae dan Costa dalam bentuk kuisioner (300 item) yang menjadi indikator. Skor dari standard prosedur penilaian inilah yang digunakan sebagai acuan terhadap perilaku individu berdasar teori Big Five.
Dalam hubungan sosial setiap individu yang menjadi keniscayaan, perilaku individu dan penyikapan terhadap lingkungan adalah hal mendasar sebagai ''karakter'' diri atau pembawaan. Inilah yang menjadi dasar dari konsep kepribadian yang lebih lengkap yang biasa disebut sebagai konsep Psychological Well-being. Penilaian dari kapasitas individu dalam konsep ini didasarkan pada beberapa dimensi, yaitu: self-acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Faktor yang mempengaruhi kapasitas seseorang antara lain: usia, jenis kelamin, kelas sosial dan latar belakang budaya. Dengan demikian, penilaian dapat mewakili diri maupun pengaruh luar terhadap karakter.
Penelitian yang dilakukan oleh I Made Yudhistira Dwipayama, M.Psi. menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak dijumpai kotak - kotak karakter yang memungkinkan dominasi atas karakter tertentu. Tidak seperi masyarakat Jepang yang begitu kuat dalam menjalankan hubungan sosial berdasarkan golongan darah. Sehingga nilai psychological well-being tidak menunjukkan variasi yang besar terhadap golongan darah.
Informasi kepribadian berdasarkan golongan darah memang memberikan bantuan yang signifikan dalam pengembangan diri (positive relationship with others dan personal growth). Namun, tentu kita tidak sedang membuat rasisme jenis baru yang lebih berbahaya. Bayangkan jika porsi mayoritas O dan A yang dianggap dominan, terhadap B atau AB yang minoritas. Diskriminasi jenis baru dengan alasan penyesuaian profesi akan terbentuk secara alami. Keberhasilan seseorang dalam hidupnya adalah rahasia kerja keras individu dan hubungannya dengan Allah. Pemahaman terhadap manusia dan dirinya memang akan selalu berubah, namun kebenaran dari Allah adalah kepastian.
Dan juga, dalam iman islam kita tidak banyak mengenal konsep - konsep seperti kepribadian berdasarkan golongan darah. Kepribadian adalah sesuatu yang kita bentuk dari pendidikan keagamaaan yang lengkap. Sebagaimana banyak contoh parenting nabawiyah dari Rasulullah SAW yang telah banyak melahirkan generasi terbaik tabi'in RA. Manusia yang langsung mendapatkan bimbingan dari Rasul SAW dan Sahabat RA.
Konsep psychological well-being mungkin sangat mendekati dengan hasil dari proses ajar dari Rasul SAW. Namun, sandaran kita yang utama adalah teladan mulia Rasul SAW. Ukuran terbaik selalu disandarkan pada keimanan. Tujuan hidup kita yang utama di dunia, untuk kehidupan yang akan datang di akhirat. Boleh jadi konsep tersebut adalah sebuah pendekatan keilmuan yang lain. Saat kita membutuhkan acuan empiris dalam menilai karakter seseorang. Kita tidak menafikan bahwa saat ini kita dikuasai oleh peradaban barat. Begitulah kita diharapkan dalam menyikapi kebaikan dalam suatu ilmu.
22 Sya'ban 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar