lkc.or.id |
Seperti Peter, kita ini memang cenderung lebih senang bermain. Menuruti hipotalamus dalam otak kita yang rajin mengirim gelombang keinginan. Tidak peduli dengan apa yang pernah kita perjuangkan. Ironi manusia yang berjuang demi kebebasan, namun dalam hidup mereka tidak pernah bebas dari intervensi hipotalamus. Prof. Dr. Ir. Abdullah Sahab, M.Sc., dalam sebuah kajian yang cerdas tentang cara kerja syaithan tertawa dengan tingkah kita yang ini. Bagaimana tidak, kita yang sebesar ini dikendalikan oleh semua kerja sensory bagian kecil otak. Dialah pemilik tunggal keseluruhan jasad kita.
Justru, manusia menjadi merdeka ketika sedang berpuasa. Dia tahu sepiring nasi padang yang lengkap dengan tempe goreng, otak, sayur daun ketela, sambel hijau, dan kerupuk tidak mengandung unsur haram sama sekali. Dan hipotalamus berkali-kali mengirim sinyal, dan mengingatkan betapa nikmat daftar olahan karbonal tersebut saat siang hari, waktu istirahat. Maka dengan hebat kita mengatakan, "tidak." Kita berhenti menurutinya, bukan. Merdeka!
Hipotalamus ini memang seperti seorang balita, diktator yang semakin menjadi ketika melihat orang tuanya panik. Terbias dalam wajahnya malu karena suara tangis anaknya di depan umum. Memahami gejolak dalam batin seorang Bunda, semakin garang tangisan mereka. Tidak peduli dengan kata malu, atau moralitas. Namanya juga anak kecil, tidak ada yang akan menyalahkannya. Tetapi mereka pasti akan 'memalukan' siapapun yang menggendongnya. Ah, kita yang menjadi raja atau balita 'perengek' itu yang menjadi tuan kita. Manusia, hanya punya pilihan dari dua hal tersebut. Allahu a'lam.
0 Komentar:
Posting Komentar