www.voa-islam.com |
Kita faham dengan keniscayaan seorang ulil amri, yang selalu berusaha mendamaikan umat. Namun bijakkah seorang ulil amri yang memaksakan realitas labelisasi Islam di masyarakat untuk lebur begitu saja dalam Islam Nusantara. Liberal, Nasionalis-Sekuler, Tradisional, Fundamental, Utopis-Radikal, setelah begitu lama terbawa suasana propaganda dunia terhadap Islam. Menafikan gerakan belah bambu pegiat liberal, terburu-buru.
Perjuangan untuk menangkal deislamisasi kini jauh semakin sulit, karena JIL bebas bergerak dalam isu Islam Nusantara. Mereka semakin mudah memberikan label kepada pemikiran yang menentang mereka sebagai Islam Arab yang 'bengis'. Apalagi yang tersisa dalam Islam Arab ini selain kengerian?! Dengan dukungan media yang kuat, Islam Nusantara kini menjadi pedang bermata dua.
Kami yang sudah mulai condong mengkaji ilmu tentang Islam kini dibenturkan dengan Islam Nusantara. Apalagi yang tersisa dari perjuangan para Ulama, INSIST, MIUMI dalam mengangkat kebangkitan ilmu?! Kalah langkah dengan JIL yang memang sedang berjuang membentuk transformasi baru sejak fatwa sesat MUI 2005. Kini mereka lahir kembali dan menemukan panggungnya dalam keriuhan yang lebih runcing. Dan kini kami yang awam sedang berada dalam tarik ulur dua kutub, Islam Nusantara dan Islam Fundamentalis. Persatuan Islam Nusantara yang kami rindukan kini kerasukan JIN.
Alangkah lengkap jika kita mengkaji sejarah khilafah Islam Mataram (Sultan Agung Hanyokrokusumo) yang pada masa awal kekuasaannya demikian gencar dengan islamisasi. Terutama melalui rasionalisasi bahasa terhadap keniscayaan Islam yang logis dan faktual, menyelisihi budaya masyarakat Jawa. Kemudian demi cita untuk menyatukan jawa dan meluaskan kekuasaan di nusantara, memilih untuk mengembangkan falsafah negara dalam sinkretisme Islam dan agama jawa. Dalam usaha merangkul kaum kejawen, Hindu, dan Budha secara halus dan berangsur-angsur. Tentu ini bertolak belakang dengan kegigihan beliau, Mas Ransang, dalam mendapatkan gelar Sultan yang merepresentasikan Islam dari Syarif Mekah.
Meskipun kita telah faham bahwa dalam masa kejayaan Mataram, Sultan Agung berhasil menaklukkan Giri dan Madura yang masih kuat dalam akidah Islam. Penyatuan jawa yang demikian justru menjadi titik balik keruntuhan Mataram setelah Sultan Agung mangkat. 'Agama baru' yang digagas itu tidak benar-benar menyatukan hati masyarakat jawa. Segera setelah penguasa baru jumeneng, Mataram muncul sebagai kekuatan politik kerajaan semata. Dalam arti negara yang kemudian sangat antipati terhadap dakwah Islam. Menorehkan sejarah kelam 'penggantungan' 7000an Kyai dan santri dari seluruh Mataram.
Benarlah firman Allah, " dan yang mempersatukan hati-hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka." Jikalah memang ulil amri memandang Islam sebagai penguat persatuan Indonesia, luruskan dulu niatnya. Bahwa Islam adalah kebenaran yang sejati, yang menjadi jawaban nasionalisme apermanen Indonesia. Maka saat itu Islam Nusantara menjadi sangat tepat sebagai hujjah.
Islam Nusantara akan menjadi pepesan kosong selama faham liberalisme masih kuat di negeri ini. Bagaimana mungkin menyatukan umat Islam, sedangkan liberalisme selalu menjadi biang pengaduk persatuan. JIN yang merasuk ke dalam Islam Nusantara hanya akan menggugah kedaerahan, nativisasi budaya. Karena ghirah mereka yang ingin mengembalikan pengaruh budaya dalam menyekat persatuan nusantara. Merekalah sumber perpecahan yang akan melahirkan Islam Jawa, Islam Sumatera, Islam Aceh, dan seterusnya. Hingga benar-benar kita akan kembali pada zaman jong anu bond di masa lalu.
6 Ramadhan 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar