#Beemoslem twimg.com |
Keaslian Indonesia, atau kampung halaman Indonesia, apakah ada standard yang telah baku dalam benak jutaan rakyat Indonesia? Sehingga kemudian seseorang dapat memaksakan klaim sesuatu telah merusak keaslian Indonesia. Tidaklah usah kita bicara masalah keTuhanan, apakah bangunan tembok-beton yang telah biasa kita gandrungi ini tidak merusak keaslian bangunan Candi Borobudur yang megah itu. Yang menurut banyak akademisi mewakili kejayaan Nusantara masa lampau, di kampung halaman Indonesia.
twimg.com |
Mengengok kembali Candi Borobudur di tahun di awal-awal dekade 1800-an. Bangunan aseli Indonesia itu menjelma menjadi sebuah bukit di antara rerimbaan semak belukar. Ya, mungkin seperti situs gunung padang yang entah sampai dimana perkembangannya kini. Sekitar 70-an tahun kemudian bangunan megah menara Eiffel selesai dibangun dan menjadi kebanggaan masyarakatnya. Kontras sekali bukan, mereka membangun yang baru, sementara di kampung Indonesia ada seorang bule yang mengorek bebukitan angker tempat Jin buang anak.
Pekerjaan itu memang membanggakan, karena umat Buddha memiliki tempat suci yang sangat agung setelah proses pemugaran yang cukup lama. Resminya, sekitaran tahun 1970-an Candi Borobudur kembali difungsikan sebagai tempat pemujaan. Pekerjaan luar biasa yang melibatkan simpati dunia internasional melalui badan UNESCO. Dan bukan hanya candi ini yang menjadi megah, banyak candi-candi yang kemudian juga menjadi temuan membanggakan bangsa Indonesia.
Jadi, sudah sewajarnya rakyat Indonesia kebali kepada keasliannya yang membanggakan itu. Merobohkan bangunan-bangunan baru yang tercampur kebudayaan barat. Atau lebih tepatnya kebudayaan modern, teknologi mutakhir abad ini. Bayangkan peran masyarakat Indonesia terhadap kelestarian alam dunia, jika gerakan kembali ke aseli ini sukses. Karena itu berarti akan kita tinggalkan tambang-tambang semen yang belum mampu menemukan formula reboisasi lingkungan. Kita kembali gunakan warisan leluhur, yang mitosnya, menggunakan adonan telur dan lumpur. Bisalah kita manfaatkan sumber lumpur yang tidak pernah berhenti dari Sidoarjo.
Mari kita tengok kampung halaman, dan kembali kepada keaslian Nusantara. Menjadi petani di desa yang subur dan tanpa bahan kimia. Menggunakan sapi-sapi atau kerbau tanpa asap beracun dari karbon terbakar. Berolahraga dengan cangkul-cangkul, membentuk otot bisep dan trisep tanpa harus menjadi member sebuah gym club. Ayo kita berbondong-bondong kembali ke desa, menanam jagung di ladang. Faktanya, desa-desa telah ditinggalkan. Jika dahulu rakyat meninggalkan sawah mereka karena menghindari kerja paksa pembangunan candi. Maka di abad modern ini, kita tinggalkan desa untuk memenuhi tagihan kartu kredit.
Kemerdekaan telah berusia lanjut sekarang, tujuh puluh tahun. Kampung halaman telah ramai dengan gedung-gedung pencakar langit. Sehingga kita merasa sesak dan ingin pulang ke desa. "Ah, hanya candaan!" Di hari kelahiran Republik ini, kita ulang kembali start perjuangan untuk menuju kebudayaan agung. Bukan mencari-cari keaslian di kampung halaman. Hingga esok kita bisa temui kereta model shinkansen mengular dari ujung pulau ke ujung yang lain. Juga air laut yang tak pernah dangkal dalam jalur-jalur tol laut yang menghubungkan ujung batas negara yang satu ke batas tak hingga.
Naif, jika kita tetap terkagum-kagum kepada kebingungan masa lalu, yang bahkan telah ditinggalkan nenek moyang kita 8 abad atau lebih. Sedangkan Islam yang telah berperan dalam menumbuhkan keagungan budaya Nusantara dianggap aneh. Dan bangsa asing dengan leluasa memanfaatkan kampung halaman kita untuk pesawat ulang-alik mereka yang menjelajah angkasa. Sudah waktunya kita move on, dari kisah cinta yang telah ditinggalkan berabad lamanya. Menuju kampung halaman yang bebas merdeka, dari penghambaan kepada selain Allah.
0 Komentar:
Posting Komentar