Penilaian dari kapasitas individu dalam konsep Psychological Well-being didasarkan pada beberapa dimensi, yaitu: self-acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Faktor yang mempengaruhi kapasitas seseorang antara lain: usia, jenis kelamin, kelas sosial dan latar belakang budaya. Dengan demikian, penilaian dapat mewakili konsep diri maupun pengaruh luar terhadap karakter seseorang.
Dalam jurnalnya, The Structure of Psychological Well-Being Revisited, Carol D. Ryff dan Corey Lee M. Keyes memberikan tambahan khusus untuk mendefinisikan dimensi dalam konsep tersebut di atas. Antara lain:
1. Self Acceptance: Menggambarkan kemampuan seseorang untuk menerima keadaan dirinya secara pribadi. Baik dalam kelebihan maupun kekurangan. Skor penilaian yang tinggi menunjukkan bahwa seseorang merasa puas/positif (satisfied), sedang skor rendah menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk menerima masa lalu. Cenderung berontak (belum berdamai) dan ingin menjadi seseorang yang lain di masa lalu.
2. Positive Relations With Others: Sikap seseorang yang hangat, terbuka, dan menerima keberadaan orang lain. Memandang hubungan sosial sebagai ''give and take of" sehingga mampu berempati, lembut, dan dekat dengan lingkungan. Skor rendah dalam dimensi ini menunjukkan seseorang yang ''menarik diri'', ''keras'' dalam berkompromi untuk tujuan yang sama, dan terpengaruh oleh hubungan sosial yang buruk (frustated).
3. Autonomy: Seseorang yang mampu bertindak dengan inisiatif pribadi dan mandiri. Matang dalam menghadapi tekanan sosial karena mampu menganalisa masalah sesuai dengan nilai - nilai yang dianutnya dengan teguh. Pribadi dengan skor rendah menggambarkan seseorang yang kurang mampu menghadapi pengaruh lingkungan. Kurang teguh dalam berkata "tidak" baik karena penilaian orang maupun karena nilai sosial yang berbeda yang dipegangnya.
4. Environmental Mastery: Kemampuan pribadi untuk memanfaatkan potensi lingkungan dalam hubungan mereka. Terampil dalam memilah ''sebab-akibat'' yang terjadi di sekitarnya dan mampu memilih atau menciptakan konteks atau lingkungan yang berdasarkan kebutuhan dan nilai - nilai. Seseorang yang mempunyai skor rendah terlihat stress dengan hubungan sehari - hari. Mereka cenderung mengumpulkan semua kejadian dan menilainya berdasarkan perasaan. Cenderung gagal menemukan kesempatan dalam lingkungan dan ''pasrah'' dalam arti negatif.
5. Purpose in Life: Dimensi ini meletakkan ukuran arah dan tujuan dalam hidup, sehingga seseorang mampu belajar dari pengalaman hidup dan berjuang di masa sekarang. Sikap yakin terhadap apa yang dilakukan, yang mengarah pada tujuan hidupnya. Skor rendah memberikan gambaran seseorang yang belum menemukan jati diri dan arti kehidupannya. Juga menunjukkan kegagalan seseorang untuk belajar dari kehidupan di masa lalu. Dapat juga dikatakan sebagai pribadi yang bergerak hanya karena tuntutan kesenangan hidup saat ini.
6. Personal Growth: Kemampuan untuk menilai setiap perkembangan dirinya, selalu berpikir untuk berinvestasi dalam pengalaman yang berharga. Berani untuk menghadapi tantangan baru. Selain itu juga dapat menunjukkan kemampuan untuk memilah potensi - potensi diri yang belum optimal, dan bergerak untuk mengembangkannya. Skor rendah memberikan implikasi seseorang yang tidak mau berubah ke arah yang lebih baik. Cenderung stagnan dan membosankan. Menghadapi kehidupan dengan datar dan mudah shock terhadap perubahan yang tiba - tiba. Tidak mudah menerima saran - saran baru yang membangun bagi dirinya.
Enam pokok dimensi inilah yang menopang konsep psychological well-being, yang dalam perkembangannya lebih menekankan studi pada eudaimonia. Dalam The psychology of individualism, Waterman mendefinisikan eudaimonia sebagai ''the feelings accompanying behavior in the direction of, and consistent with, one's true potential''. Kurang lebihnya, sebagai kesadaran pribadi yang menyertai tindakan dalam potensi utama seseorang, arahnya dan ndablegnya. I Made Yudhistira Dwipayama, M.Psi dalam jurnalnya (baca: Bijak dalam Pengembangan Diri) memberikan kesimpulan definisi, yaitu suatu kondisi di mana seseorang melakukan penilaian terhadap hidupnya sehari-hari yang meliputi reaksi emosional terhadap suatu peristiwa dan evaluasi sadar yang dilaporkan baik pada saat suatu peristiwa terjadi atau secara global setelah waktu yang lama.
Dengan dasar tersebut di atas, maka metode seperti karakter berdasarkan golongan darah hanya memberikan gambaran potensi diri yang muncul secara spontan dalam kehidupan sehari - hari. Reaksi apermanen ini seyogyanya menjadi bagian dari pertimbangan dalam pengembangan SDM secara adil. Bukan menjadi referensi untuk memisahkan individu dengan golongan darah tertentu yang tidak menyenangkan. Pengembangan dalam organisasi, utamanya, harus mendukung setiap individu berdasarkan potensi (kelebihan dan kekurangan). Sehingga akan memberikan output individu yang matang dan berhasil.
23 Sya'ban 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar