Jika hidayah dapat kita kecap, seperti apakah rasanya?
Gurih, manis, atau segar? Kita sering mengatakan, “jika Allah menghendaki, tentu
Kita akan mendapatkan hidayah.” Kemudian menunda-nunda taat hingga uban
menyapa. Berangan-angan hidayah itu akan bertamu saat senja usia. Siapa yang
menjamin kita berumur panjang? Koq, sepertinya Kita begitu yakin akan husnul khatimah. Apakah karena kita
dilahirkan muslim?
Sadarkah, Allah kadang tidak mengijinkan kita menemuiNya. Di dalam rumahNya yang sejuk karena berpintu
lebar. Hari kelima Ramadhan tahun ini, Saya tidak diperkenankan Allah menunaikan shalat Ashar. Bukan hanya tidak
hadir dalam jamaah, namun juga terlupa untuk menghadapNya. Karena begitu bangun
sekitar pukul 16:35, bergegas mandi dan berganti, Saya justru langsung keluar
rumah untuk berburu ifthar menurut kebiasaan.
Saya berpikir, apakah ini jawaban atas was-was yang sempat
hinggap di malam yang lalu. Padahal Saya
sempat ber'azzam untuk lekas
Shalat, dan sadar waktu Ashar telah
sempit. Allah kiranya sedang menitipkan jawaban dengan lupa yang Saya alami tersebut. Jikalau Saya tidak kembali ke rumah
lengkap dengan nyawa, sudah pasti kehilangan satu shalat. Catatan kerugian,
menukar Shalatul Wustha dengan Shalatul Janazah. Rahmat Allah jika masih
dapat menunaikan, begitu teringat saat berjamaah Maghrib.
Bukankah kadang kita sendiri yang
menunda Shalat, karena sibuk dengan pekerjaan di kantor. Kemudian lupa. Kita sering
lebih sibuk mengejar rejeki yang telah dijamin. Seumpama cicak yang harus makan
nyamuk, dengan bersiaga di tembok-tembok rumah. Seandainya hidayah Allah itu
nyata seperti semangkok mie Ayam, yang Saya beli untuk ifthar sore itu. Dan
kita hanya perlu menukar dengan enam ribu rupiah. Namun hidayah adalah sesuatu
yang tidak dapat kita sentuh dengan indra. Hidayah adalah wilayah imani bukan
indrawi atau empirik.
Allah Al Lathief, Maha Lembut dengan nikmatNYa. Tidak pernah menjadikan
dosa kita nyata, misalnya berupa bau. Apakah kita masih akan berpasrah kepada
takdir untuk menghilangkan bau itu? Kita sangat mudah menepis kata hati dan
membiarkan dosa itu kian bertambah. Lalu timbul was-was, “sepertinya Allah
menakdirkan Aku masuk neraka.” Padahal ketika meninggalkan Shalat, ringan saja,
seringan kapas. Meniru Azazil, "Karena Engkau telah menghukum Saya
tersesat, Saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang
lurus." Berputus asa.
Kita sering mencampurkan dua
hal berbeda. Kalau menyangkut dunia, kita menggunakan logika. Berikhtiar siang
dan malam. Tetapi terhadap nikmat hidayah, Kita lupa. Jin dan Manusia adalah
makhluk lemah yang diciptakan sempurna oleh Allah, karena dianugerahi pilihan. Hidayah
adalah nikmat terbesar bagi Manusia. Semoga kita ingat dengan Adam AS yang
menangis selama ratusan tahun untuk bertaubat kepada Allah. "Ya Rabbana,
Kami telah menganiaya diri Kami sendiri." Tauladan yang baik untuk memilih
bertaubat, berharap rahmat Allah.
Begitu mudahnya terhembus dalam
dada manusia, prasangka buruk kepada Allah. Hidayah memang perkara hati. Nabi
Ibrahim AS, Sang Khalilullah, pernah
bertanya bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Apakah Bapak kita tersebut
tidak beriman? Tidak, beliau mengatakan, “akan tetapi agar hatiku tetap
mantap.” Itulah Iman, dapat bertambah karena bukti-bukti indrawi di depan mata
kita. Tetapi tidak pernah benar bahwa iman membutuhkan bukti. Hidayah adalah
anugerah Allah. Bahkan seandainya kepada orang kafir diperlihatkan surga, tidak
juga beriman, “Kami terkena sihir.” Tanyakan saja pada pemuja materialisme,
yang jauh lebih tahu tentang kebesaran Allah dalam ciptaanNya.
Seharusnya kita malu kepada Salman
bin Al Islam RA, "Aku pergi melintasi dataran tinggi dan dataran rendah
hingga aku melintasi suatu kaum badui, mereka menjadikanku sebagai budak lalu
mereka menjualku hingga seorang wanita membeliku.” Salman yang mulia itu harus meninggalkan
kecintaan Ayahnya, seorang Dihqan atau pemimpin di perkampungan Jayyan,
Asfahan. Padahal Salman muda telah memiliki tempat terhormat sebagai seorang
penjaga api ibadah Majusi. Berangkat ke negeri Syam, memilih menjadi kawula pada seorang pendeta di sebuah gereja.
Setelah kematian Sang Pendeta,
Salman terus mengabdikan diri kepada pemuka nasrani lain yang shaleh. Hingga
tidak ada lagi pendeta beriman di Syam. Demi mengikuti wasiat pendeta terakhir,
beliau berkelana mencari seseorang yang mengikuti agama Ibrahim. Hingga
perjumpaan beliau dengan Rasul SAW di Madinah, beliau telah berganti-ganti
majikan. Musibah kemanusiaan yang dikehendaki Allah pada beliau. Tidak terperi.
Seorang anak pembesar Persia yang kaya raya, harus menjadi korban perbudakan
bertahun-tahun di tanah Arab. Apakah hijrah kita sepadan dengan pencarian
beliau? Tidak.
7 Ramadhan 1436H
0 Komentar:
Posting Komentar