Smiley

0
Jika hidayah dapat kita kecap, seperti apakah rasanya? Gurih, manis, atau segar? Kita sering mengatakan, “jika Allah menghendaki, tentu Kita akan mendapatkan hidayah.” Kemudian menunda-nunda taat hingga uban menyapa. Berangan-angan hidayah itu akan bertamu saat senja usia. Siapa yang menjamin kita berumur panjang? Koq, sepertinya Kita begitu yakin akan husnul khatimah. Apakah karena kita dilahirkan muslim?

Sadarkah, Allah kadang tidak mengijinkan kita menemuiNya. Di dalam rumahNya yang sejuk karena berpintu lebar. Hari kelima Ramadhan tahun ini, Saya tidak diperkenankan Allah menunaikan shalat Ashar. Bukan hanya tidak hadir dalam jamaah, namun juga terlupa untuk menghadapNya. Karena begitu bangun sekitar pukul 16:35, bergegas mandi dan berganti, Saya justru langsung keluar rumah untuk berburu ifthar menurut kebiasaan.

Saya berpikir, apakah ini jawaban atas was-was yang sempat hinggap di malam yang lalu. Padahal Saya sempat ber'azzam untuk lekas Shalat, dan sadar  waktu Ashar telah sempit. Allah kiranya sedang menitipkan jawaban dengan lupa yang Saya alami tersebut. Jikalau Saya tidak kembali ke rumah lengkap dengan nyawa, sudah pasti kehilangan satu shalat. Catatan kerugian, menukar Shalatul Wustha dengan Shalatul Janazah. Rahmat Allah jika masih dapat menunaikan, begitu teringat saat berjamaah Maghrib.

Bukankah kadang kita sendiri yang menunda Shalat, karena sibuk dengan pekerjaan di kantor. Kemudian lupa. Kita sering lebih sibuk mengejar rejeki yang telah dijamin. Seumpama cicak yang harus makan nyamuk, dengan bersiaga di tembok-tembok rumah. Seandainya hidayah Allah itu nyata seperti semangkok mie Ayam, yang Saya beli untuk ifthar sore itu. Dan kita hanya perlu menukar dengan enam ribu rupiah. Namun hidayah adalah sesuatu yang tidak dapat kita sentuh dengan indra. Hidayah adalah wilayah imani bukan indrawi atau empirik.

Allah Al Lathief, Maha Lembut dengan nikmatNYa. Tidak pernah menjadikan dosa kita nyata, misalnya berupa bau. Apakah kita masih akan berpasrah kepada takdir untuk menghilangkan bau itu? Kita sangat mudah menepis kata hati dan membiarkan dosa itu kian bertambah. Lalu timbul was-was, “sepertinya Allah menakdirkan Aku masuk neraka.” Padahal ketika meninggalkan Shalat, ringan saja, seringan kapas. Meniru Azazil, "Karena Engkau telah menghukum Saya tersesat, Saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus." Berputus asa.

Kita sering mencampurkan dua hal berbeda. Kalau menyangkut dunia, kita menggunakan logika. Berikhtiar siang dan malam. Tetapi terhadap nikmat hidayah, Kita lupa. Jin dan Manusia adalah makhluk lemah yang diciptakan sempurna oleh Allah, karena dianugerahi pilihan. Hidayah adalah nikmat terbesar bagi Manusia. Semoga kita ingat dengan Adam AS yang menangis selama ratusan tahun untuk bertaubat kepada Allah. "Ya Rabbana, Kami telah menganiaya diri Kami sendiri." Tauladan yang baik untuk memilih bertaubat, berharap rahmat Allah.
 
Begitu mudahnya terhembus dalam dada manusia, prasangka buruk kepada Allah. Hidayah memang perkara hati. Nabi Ibrahim AS, Sang Khalilullah, pernah bertanya bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Apakah Bapak kita tersebut tidak beriman? Tidak, beliau mengatakan, “akan tetapi agar hatiku tetap mantap.” Itulah Iman, dapat bertambah karena bukti-bukti indrawi di depan mata kita. Tetapi tidak pernah benar bahwa iman membutuhkan bukti. Hidayah adalah anugerah Allah. Bahkan seandainya kepada orang kafir diperlihatkan surga, tidak juga beriman, “Kami terkena sihir.” Tanyakan saja pada pemuja materialisme, yang jauh lebih tahu tentang kebesaran Allah dalam ciptaanNya.

Seharusnya kita malu kepada Salman bin Al Islam RA, "Aku pergi melintasi dataran tinggi dan dataran rendah hingga aku melintasi suatu kaum badui, mereka menjadikanku sebagai budak lalu mereka menjualku hingga seorang wanita membeliku.” Salman yang mulia itu harus meninggalkan kecintaan Ayahnya, seorang Dihqan atau pemimpin di perkampungan Jayyan, Asfahan. Padahal Salman muda telah memiliki tempat terhormat sebagai seorang penjaga api ibadah Majusi. Berangkat ke negeri Syam, memilih menjadi kawula pada seorang pendeta di sebuah gereja.

Setelah kematian Sang Pendeta, Salman terus mengabdikan diri kepada pemuka nasrani lain yang shaleh. Hingga tidak ada lagi pendeta beriman di Syam. Demi mengikuti wasiat pendeta terakhir, beliau berkelana mencari seseorang yang mengikuti agama Ibrahim. Hingga perjumpaan beliau dengan Rasul SAW di Madinah, beliau telah berganti-ganti majikan. Musibah kemanusiaan yang dikehendaki Allah pada beliau. Tidak terperi. Seorang anak pembesar Persia yang kaya raya, harus menjadi korban perbudakan bertahun-tahun di tanah Arab. Apakah hijrah kita sepadan dengan pencarian beliau? Tidak.

Allah tidak akan ditanya tentang keadilan takdirNya. Jika hidayah adalah semangkok mie Ayam, kita harus segera menikmatinya sebelum dingin. Siapakah yang Maha Menepati Janji?! Genggam erat iman hingga datang Malaikatul Maut, nyawa keluar seperti air dari mulut kendi. Karena ridha kepada janji Allah yang diperlihatkan melalui tanda. Jangan doa ini yang kita panjatkan nanti di yaumil akhir. "Ya Rabbana, keluarkanlah kami dari neraka. Dan kembalikanlah kami ke dunia, maka jika kami kembali juga sungguh kami adalah orang yang zalim." 

7 Ramadhan 1436H

0 Komentar:

Posting Komentar