Smiley

0
Perdebatan tentang hubungan sesama jenis adalah perdebatan usang tentang seseorang yang tidak suka brokoli, pete, jengkol, cabe, bawang, bakso, mie ayam, dan bla bla bla. Namun tetap menarik, terlebih fase perdebatan telah sampai pada hak untuk menikah atau 'legalitas untuk makan'. Seolah keberhasilan para aktivis mengangkat isu persamaan gender yang sudah diakui, seperti dalam Pacte Civil de Solidarité tahun 1999 di Perancis, masih kurang. Padahal kaum pacséle telah mendapatkan persamaan hak dengan hukum sipil ini, meskipun bertentangan dengan iman katolik masyarakat Perancis. Kalau tidak boleh dikatakan sebagai kesuksesan final. Entah mengapa kemudian trend dunia menuntut adanya legalitas samesex marriage. Langkah mundur kaum sekularis kah? Atau hanya sedang memproduksi bahan untuk diekspor kepada dunia!

Buatan Siapa
www.dailystormer.com
Frederick Engels, telah sangat jelas mengatakan bahwa institusi pernikahan harus dihapuskan. Dan bahkan pengasuhan anak dialihkan tanggung jawabnya dari keluarga kepada commune. Tidak ada kesesuaian dengan kaidah evolusi dari animality menuju humanity. Menurutnya, konsep pernikahan yang juga membatasi hubungan seksual hanya dengan pasangan saja adalah didorong sifat cemburu yang merupakan sisa naluri kehewanan manusia yang akan hilang dengan sendirinya seiring perkembangan zaman. Pengakuan yang menyudutkan manusia, karena babi telah lebih dahulu menanggalkan sifat cemburu sebagai binatang.

Sebagai kawanan ekonomis, anggota keluarga tidaklah ada kecuali karena kesadaran evolusi untuk membentuk kelompok. Sebagai bentuk defensif terhadap lingkungan luar. Ini juga yang dipahami oleh banyak sosiolog barat dalam memberikan definisi keluarga secara historis. Jika kemudian keluarga mempunyai fungsi lain sebagai institusi penting untuk melanjutkan kebudayaan, hanyalah sebuah proses seleksi alam. Masyarakat yang maju peradabannya sudah tidak memerlukan lagi.

Memahami pengesahan hukum sipil PACS di Perancis, tentu kita sudah mendapat cukup alasan bahwa konsep yang diutarakan oleh Engels tersebut berhujjah kuat. Masyarakat barat yang menurut mereka telah 'maju' sudah nyaman dengan love contract. Tanpa harus masuk institusi pernikahan yang justru menjadi penghalang kesetaraan gender. Manusia dapat memilih untuk membentuk keluarga dengan siapapun., tanpa ikatan darah/legal. Mengapa kemudian muncul desakan kuat untuk melegalkan samesex marriage. Sebuah kebuntuan berpikir kaum sekularis?!

Dalam sebuah tulisan bebas dari anonymous di www.thefederalist.com, sungguh menjadi ganjalan dalam pemikiran penghapusan institusi keluarga adalah kenyataan bahwa pernikahan lebih dari sebuah kontrak. Ya, ternyata negara amat berkepentingan terhadap lembaga pernikahan. Mungkin ini anomali terbesar dalam pemikiran sekularis sepanjang sejarah. Ketika gaya hidup tanpa pernikahan sudah mejadi wajar, berduyun-duyun para aktivis pembela LGBT menuntut adanya hak yang sama dalam pernikahan.

Diantara polemik yang meruncing akhir-akhir ini adalah isu tentang hak anak adopsi. Yang terpisahkan dari orang tua biologis mereka. Penentang pernikahan LGBT beralasan bahwa anak-anak cenderung tertekan dengan keadaan de facto masyarakat yang alami. Bahwa mereka membutuhkan sosok Ayah dan Ibu, yang memang secara naluriah harus berbeda gender. Namun rupanya legalitas samesex marriage tetap jalan dengan berkilah peraturan adopsi anak tidak masuk dalam pembahasan.

Jauh lebih rumit lagi persamaan hak untuk menikah dalam Islam bagi LGBT. Karena Islam memandang institusi keluarga hanya karena pernikahan. Tidak ada jalan lain, bahkan untuk adopsi atau keluarga kontrak pun sangat tegas secara hukum. Semua akan kembali kepada nasab, yang merupakan pertalian darah. Dalam nama bin dan binti, yang dihafal atau dicatat. Mereka memang telah ada sebagai ciptaan Allah, tetapi Islam dengan tegas menunjukkan dua hal yang bertentangan tersebut. Fitrah dan takdir dalam orientasi sex manusia. Dan hujjah dalam kenyataan lahirnya mereka dari hubungan Ayah dan Ibu secara biologis. Sewajar analogi manusia yang dilahirkan tanpa anus. Kita tidak boleh menerimanya begitu saja, melainkan harus diusahakan untuk penyembuhan secara medis. Sesederhana itu dalam logika!

Inilah klimaks yang tidak menyenangkan bagi sekularis di seluruh dunia. Ketika konsep keluarga mereka fahami sebagai sebuah kontrak, ternyata tidak semudah analogi menerbitkan friendship contract. Yang memang tidak membutuhkan legalitas hukum. Ternyata institusi keluarga telah menjadi legenda tersendiri tentang sejarah perkembangan anak manusia, yang melampaui sebuah kontrak kerjasama. Memandangnya sebagai lembaran kontrak tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Menjadi lucu ketika kemudian aktivis-aktivis yang masih normal itu berteriak lantang untuk memberikan hak menikah pada kaum LGBT yang dibelanya. Ketika justru kaum LGBT itu sendiri sadar, Ayah/Ibu lebih dari sekedar panggilan. Melainkan suatu 'peran' yang unrepeatable. Sudah sewajarnya kita timbang kembali, ribuan kali, dukungan kita untuk samesex marriage.

13 Ramadhan 1436 H

#Beemoslem Mungkin video singkat berikut dapat mengembalikan memori kita tentang seorang Ibu.


0 Komentar:

Posting Komentar