Memang muncul banyak dugaan ketidakadilan dan campur tangan pemerintah dalam memberikan alokasi. Terutama setelah banyak kerja sama dan bantuan ekonomi yang ditanda tangani oleh Kabinet Kerja dalam kurun satu tahun terakhir. Secara faktual, sulit untuk diketahui. Tetapi mungkin kita bisa mengambil perbandingan dengan kebijakan yang pernah diijinkan oleh Sultan Deli. Sebelum kemudian digantikan dengan buruh kasar dari Jawa pada kisaran tahun 1890, setelah cultuurstelsel untuk komoditas tembakau dinyatakan gagal.
Adalah seorang anak broker tembakau dari Amsterdam, Jacobus Nienhuis, yang memulai bisnis dengan mencetak lahan tanam tembakau. Sultan Deli sebagai penguasa mengambil keuntungan dari tipikal wilayah sumatera masa itu, yaitu tanah-tanah luas tanpa pemilik, untuk disewakan kepada Deli Maatschappij. Perusahaan Joint Venture yang digagas Nienhuis dengan NHM (Nederlandsche Handel-Maatschappij), sebuah asosiasi dagang milik bangsawan kerajaan Belanda.
Masalah muncul, dalam hal perekrutan tenaga kerja untuk kebun tembakau di daerah pinggiran sungai Deli itu. Karena para petani yang terlibat dalam proyek penanaman tembakau tersebut menemukan bahwa persiapan lahan sulit untuk dilakukan. Disebabkan oleh karakter tanah yang miskin unsur hara, yang diperlukan untuk menghasilkan tembakau terbaik. Kualitas tembakau dari petani pendahulu memang terbukti baik, namun diperlukan banyak tenaga kerja untuk mengolah lahan luas tersebut. Sementara penduduk lokal masih sedikit dalam jumlah per kepala lahan.
Pada tahun 1870, jumlah buruh migran kasar dari etnis china telah mencapai kisaran 4000 orang di seluruh Deli estate. Mereka didatangkan dari Pinang dan Singapura, bahkan juga dari China Daratan. Seperti apa yang terjadi di daerah Banten beberapa waktu lalu, masalah juga sambang kepada pemilik estate. Penguasa Kolonial Inggris di Pinang dan Singapura menerapkan kebijakan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja. Dengan memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh employee dalam hal kondisi kerja dan pengupahan. Hal ini juga yang memicu didatangkannya tenaga kerja dari China Selatan secara langsung.
Entah bagaimana perjanjian kerja yang terjadi antara employee dan buruh migran di Banten tersebut. Mungkin memang lebih mudah seperti yang pernah terjadi di era Sultan Deli tersebut. Faktanya, Sultan Deli ternyata tidak punya bargaining untuk menghadapi penguasa China Daratan. Sehingga memunculkan urusan lain yang lebih pelik dalam proses perekrutan, tentunya ongkos hiring menjadi sangat tinggi. Masalah lain yang dihindari oleh para pemilik estate.
Dan kemudian, pilihan sumber tenaga kerja kembali ke wilayah pulau Jawa yang telah dikenal dengan ledakan penduduknya. Sekitar tahun 1915 dikabarkan sudah tidak ada buruh kasar dari etnis China di keseluruhan estate. Kekuasaan kolonial yang kuat di East Indies terbukti memberikan kenyamanan bagi para petani tembakau dalam naungan Deli Maatschappij tersebut. Hal ini juga ditunjang oleh penerapan Koelie Ordinantie yang secara sah digunakan untuk menjatuhkan poenale sanctie kepada buruh bebal selama ikatan kerja kontrak tiga tahun dengan estate.
Ada banyak misteri dalam perekrutan besar-besaran tenaga migran dalam era pemerintahan Jokowi sekarang ini. Salah satu kelu yang mungkin dekat dari fenomena yang terjadi, adalah faktor harga dari SDM tersebut. Dengan menarik perbandingan di era Sultan Deli, setidaknya ada jaminan kerja sama antar pemerintahan. Sehingga employee mempertimbangkan penggunaan tenaga kerja asing yang murah. Tanpa jaminan itu, urusan birokrasi tetap terbilang pelik. Seperti misalnya kasus TKW yang sering terjadi di Timur Tengah, yang cacat dalam legalitas dan perlindungan tenaga kerja.
Atau mungkin kita tebak dari kelu lain yang sering dijadikan senjata oleh para pengkritik pemerintahan, politik balas jasa. Atas banyak kerja sama yang berhasil ditekan oleh kedua negara dalam bidang investasi. Sangat mungkin memang negara dengan penduduk terbesar di dunia tersebut mengalami surplus tenaga kerja. Seperti juga menjadi masalah akut dalam negara kita. Yah, kita selalu hanya dapat meduga-duga terhadap kebijakan pemerintah akhir-akhir ini. Yang secara masif didukung oleh kekuatan media mainstream.
Kesenjangan yang selalu ada dalam hubungan ekonomi, antara buruh dan majikan. Yang dulu selalu menjadi agenda utama dalam kampanye pemilihan presiden, untuk segera diatasi. Dahulu seorang advokat Belanda dari Medan memprakarsai kampanye lewat tema De millioenen uit Deli atau Jutawan dari Deli. Tentang perlakuan buruk para pemilik estate terhadap kuli-kuli perkebunan mereka. Mungkin nanti, juga akan ada seorang pengacara muda idealis dari tanah Banten. Yang berteriak lantang membela kekejaman employee terhadap buruh kasar migran dari negeri Panda tersebut. Haha ...
panjimas.com |
Sumber: Unlikely Nation
0 Komentar:
Posting Komentar