#Beemoslem |
Ketika itu sedang masa pengkaderan untuk proses penerimaan kader himpunan mahasiswa di kampus. Karena menjadi anggota BKO (Bawah Kendali Operasi), penulis termasuk yang paling jarang pulang ke rumah. Padahal masih di sekitaran Surabaya juga. Proses pengkaderan yang katanya ditujukan untuk solidifikasi hubungan antar mahasiswa, sering disusupi oleh tindakan balas dendam dari para senior. Kalau pun bisa turun dari tempat operasi di bawah jam 20:00 sudah menjadi prestasi. Kemenangan.
Sayang itu tidak terjadi setiap hari, kami sebagai calon kader himpunan masuk dalam giliran BKO seccara acak. Tentu dengan keanehan yang tidak bisa dimengerti, tentang pemilihan anggotanya. Teman-teman yang tidak terjaring biasanya akan melanjutkan kegiatan dengan konsolidasi. Yang indekos bahkan sampai menunggu kami tim BKO turun dari tempat operasi. Untuk kemudian membahas apa saja yang terjadi selama proses pengkaderan khusus BKO.
Sebagai mahasiswa ada juga saat sebuah dompet menjadi tidak berharga. Karena tidak ada isinya, buat apa bawa dompet. Kecuali karena surat-surat yang biasa menempel di dalamnya. Nah, ketika itu penulis baru saja turun dari DOM[E] (istilah yang dibikin ngeri) dan kelaparan. Maka segera saja meminjam kawan sepeda motor tanpa memeriksa isi dompet. Meski sedikit sadar bahwa dompet itu sudah terlalu lama tidak diisi uang. Baru teringat ketika sudah keluar gerbang kampus, di sekitaran kampung yang memang ramai dengan kegiatan ekonomi.
Tidak juga terkejut ketika melihat isi dompet, wajarlah. Dompet bukan mesin uang, yang akan tetap ada isinnya. Tapi sungguh menyesal, Sang Dompet berkata, "tinggal lembaran uang seribu." Hahaha ... mungkin dia merasa malu dan minder dengan isinya sendiri. Maka, terdorong oleh rasa lapar yang sangat penulis harus putar otak memikirkan sesuatu. Yang bisa digunakan untuk mengganjal perut sampai waktu pulang setelah konsolidasi. Dan itu cakue, yang masuk ke dalam benak penulis.
Kue yang digoreng dengan minyak, yang menyebabkan orang yang terlalu banyak memakannya menjadi begah. Sangat cocok bukan dengan kriteria darurat uang sebagai mahasiswa yang jarang pulang. Begitupun penulis langsung makan di depan penjual. Sambil menonton proses menggorengnya, juga sedikit proses pengadukan adonan. Tidak dikatakan sangat higienis juga, di tengah keramaian dan debu jalanan. Dan perut yang lapar yang menjadi penolak segala pemikiran lain. "Cakue itu paling enak," demikian teriak perut. Dan memerintahkan tanganku untuk terus memasukkannya ke dalam mulut. Tidak peduli apalah lagi.
resepkecilku.com |
0 Komentar:
Posting Komentar