Rupanya pengaruh pembaharuan itu sampai juga ke tanah air, Brown merekam gerakan tersebut sekitar tahun 1803 (tahun 1801 menurut Buya Hamka). Melalui cerita rakyat tentang tiga Ulama daerah yang digelari paderi, yang membawa pengaruh wahabi ke Minangkabau. Buya Hamka dalam karya sejarahnya, Dari Perbendaharaan Lama, juga membenarkan kedatangan kaum Wahabi tersebut. Yaitu dimulai sekitar tahun 1788, ketika banyak berdatangan orang Arab sebagai tamu kerajaan di masa Paku Buwono IV. Tetapi dengan pengaruhnya yang kuat, Belanda berhasil membujuk Sunan Bagus mendukung gerakan deportasi besar-besaran terhadap mereka dari Jawa.
Dalam catatan Buya, disebutkan beberapa gerakan yang membawa pengaruh pemikiran wahabi, yaitu gerakan "Kaum Muda" di Minangkabau dan "Muhammadiyah" di Jawa pada awal abad keduapuluh. Buya menambahkan, nama ''wahabi'' digali kembali oleh banyak kelompok untuk menekan kesadaran umat Islam yang mulai tumbuh pada era tersebut. Terutama dari kelompok komunis yang bergegas menggunakan sentimen wahabi terhadap umat Islam. Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, Masyumi, adalah ormas Islam yang sering terkena awu anget (bisa dikatan penolakan pedas) terutama pada masa kampanye Pemilu.
Ir. Soekarno dalam penelitian Buya Hamka melalui "surat-surat dari Ende," juga termasuk tokoh besar yang terpengaruh oleh pemahaman Wahabi. Atau tokoh lain yang secara implisit dicatat oleh Buya dekat dengan kaum Wahabi. Dalam sebuah kongres di Surabaya, perwakilan dari ormas Islam pada tahun 1925 bahkan berkirim kawat untuk mengucapkan selamat atas kemenangan Ibn Saud dalam penaklukan Mekah dari keluarga Syarif. Dari perwakilan umat islam juga diutus H.O.S Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur untuk berangkat ke Mekah, diikuti oleh Haji Agus Salim dua tahun kemudian. Reaksi keras dari kalangan muslim muncul terhadap tokoh-tokoh Islam tersebut. Terpengaruh oleh propaganda pemerintah dan lobi kerajaan Turki yang didukung oleh para Ulama pembela keluarga Syarif.
Sebelum lebih jauh memberi label wahabi kepada 3 tokoh tersebut, kita masih perlu menyelediki lebih dalam sikap politik yang telah diambil. Apakah memang murni karena motif kedekatan dalam faham agama (wahabi), atau motif lain dalam strategi perjuangan kemerdekaan. Karena seperti diketahui, Ibn Saud dapat berdiri dalam kemenangan karena memperoleh dukungan kerajaan Inggris Raya dalam menaklukkan musuh mereka. Terutama dari Bani Rasyid yang bersekutu dengan keluarga Al Hasa yang berafiliasi dengan Kesultanan Turki. Atau sikap tersebut adalah strategi yang diambil sebagai upaya untuk menggalang dukungan dari Inggris terhadap pengaruh Belanda.
wikipedia.org |
Kembali ke ranah Minang, Tuanku Imam adalah sosok ulama yang berhasil dalam menguatkan Islam pada pemahaman yang lebih murni. Beliau tidak pernah mengoyak tradisi matrilineal untuk mengikuti pendahulunya, yang telah lebih dulu membawa faham wahabi. Mencatat keberhasilan ini, Buya menulis,
Bonjol dibuatnya sebagai contoh dari sebuah negeri, yang di sana "adatnya kawi, syara'nya lazim." Dan "alim sekitab, besar seandika, penghulu seundang-undang." (Dari Perbendaharaan Lama)Ahmad Syahab, nama kecil beliau, terangkat pada derajad yang amat tinggi dalam kepemimpinan masyarakatnya atas dasar keluasan ilmu. Didukung dengan keberhasilan beliau yang secara arif menggandeng para bangsawan untuk sejalan dalam menegakkan syariat Islam. Pada masa tuanya, beliau telah masyhur dan tidak ada bandingan dalam leadership.
Kompeni telah menyadari bahaya gerakan wahabi bagi kepentingan mereka yang telah dirintis sejak kejatuhan Malaka di tahun 1641. Setelah berhasil mengokohkan posisinya di pesisir, tiba-tiba datang pengaruh gerakan reformis dari Mekah tersebut. Berikut tulisan Buya Hamka tentang rencana kompeni untuk membendung gerakan wahabi.
Belanda yang lebih tahu daripada orang Minangkabau sendiri apa arti Islam murni. Belanda yang selalu mendapat advis dari ahli-ahli Orientalis tentang semangat Islam, melihat bahwa kemajuan gerakan Islam yang timbul di Padang Darat itu akan sangat berbahaya bagi rencananya menaklukkan seluruh Sumatera. Belanda telah mengetahui bahwa gerakan Wahabi di tanah Arab, yang telah menjalar ke Minangkabau itu bisa membakar hangus segala rencana penjajahan, bukan saja Minangkabau, bahkan di seluruh Sumatera, bahkan di seluruh Nusantara ini. (Dari Perbendaharaan Lama)
Namun ternyata pengaruh kompeni telah cukup kuat, hingga kemudian berhasil membujuk Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan suksesi kepemimpinan. Dengan alasan usia beliau yang telah senja. Tuanku Imam memang dikenal bersahabat dengan pihak kompeni, selama mereka tidak merusak tatanan yang telah ada dalam masyarakat. Dan penegakan syariat tetap terjaga, seperti apa yang telah dijanjikan oleh kompeni. Tetapi penghianatan telah terjadi, Brown mencatat pada bulan Februari tahun 1821 kekuasaan diserahkan kepada kompeni. Maka api peperangan segera membesar, Tuanku Imam kembali memimpin (di usia 60 tahun) umat untuk melawan kompeni.
Fakta-fakta sejarah di atas perlu dicermati. Buya Hamka mencatat banyak usaha kelompok tertentu untuk menentang gerakan wahabi. Yang sekarang ini gencar dianalogikan sebagai Islam arab, baik secara ideologi maupun label justifikasi. Selain pada masa pemilu tahun 70-an (khususnya golongan komunis), beliau juga menarik perhatian kita pada masa-masa dahulu. Ketika kompeni telah berani menggalang kekuatan untuk berperang dengan kaum Paderi. Untuk kaum komunis, Saya tidak akan banyak bahas. Indikasi itu ada pada masa kampanye Presiden yang lalu, ketika isu yang ada selalu mengarah kepada komunisme versus wahabisme.
Sayangnya Saya tidak dapat menemukan benturan antara kaum Paderi dengan Syi'ah. Meskipun pada masa tersebut telah ada catatan pengaruh mereka di daerah Padang, yang berpusat di Bengkulu. Mengapa Saya mencoba menggali catatan konfrontasi kaum Paderi dan Syi'ah juga? Karena kaum syi'ah di Indonesia juga telah banyak terlibat dalam pertentangan dengan kaum Wahabi atau yang disebut demikian. Memang tidak mudah menemukan gerakan aktif mereka untuk menentang wahabi. Setidaknya dalam berita hangat yang akhir-akhir ini muncul, mulai tampak peran mereka dalam isu NU versus Wahabi.
Jika pada masa pemilu yang lalu tersembunyi dalam isu Wahabi dan Komunis, kini ada sedikit kejelasan tentang pengaruh syi'ah dalam pemakaian label wahabi. Terutama ketika sedang ramai masalah jenggot yang dilontarkan oleh ketua PBNU hasil muktamar NU Jombang. Memang sudah ada beberapa kader NU yang menangkap afiliasi SAS dengan syi'ah di Indonesia. Tetapi keberanian yang ngawur dalam stigmatisasi wahabi melalui sunnah jenggot ini memberi kita celah untuk memilah. Apalagi selama ini SAS cukup mendukung kalangan muda NU yang berdamai dengan syi'ah. Terselip sedikit kelu tentang kebencian kaum syi'ah terhadap wahabi, atau salafi.
Sayangnya Saya tidak dapat menemukan benturan antara kaum Paderi dengan Syi'ah. Meskipun pada masa tersebut telah ada catatan pengaruh mereka di daerah Padang, yang berpusat di Bengkulu. Mengapa Saya mencoba menggali catatan konfrontasi kaum Paderi dan Syi'ah juga? Karena kaum syi'ah di Indonesia juga telah banyak terlibat dalam pertentangan dengan kaum Wahabi atau yang disebut demikian. Memang tidak mudah menemukan gerakan aktif mereka untuk menentang wahabi. Setidaknya dalam berita hangat yang akhir-akhir ini muncul, mulai tampak peran mereka dalam isu NU versus Wahabi.
Jika pada masa pemilu yang lalu tersembunyi dalam isu Wahabi dan Komunis, kini ada sedikit kejelasan tentang pengaruh syi'ah dalam pemakaian label wahabi. Terutama ketika sedang ramai masalah jenggot yang dilontarkan oleh ketua PBNU hasil muktamar NU Jombang. Memang sudah ada beberapa kader NU yang menangkap afiliasi SAS dengan syi'ah di Indonesia. Tetapi keberanian yang ngawur dalam stigmatisasi wahabi melalui sunnah jenggot ini memberi kita celah untuk memilah. Apalagi selama ini SAS cukup mendukung kalangan muda NU yang berdamai dengan syi'ah. Terselip sedikit kelu tentang kebencian kaum syi'ah terhadap wahabi, atau salafi.
Mungkin benang merah itu ada pada hubungan yang pernah terjadi antara tokoh pergerakan kemerdekaan dengan Saudi dalam catatan Buya Hamka sebelumnya. Memang syi'ah begitu keras permusuhannya dengan kerajaan Bani Saud. Tetapi persilangan itu lebih pada tingkat trans-nasional. Maka Saya merasa perlu mencari kaitan historis tentang konflik Syi'i dan Sunni di Nusantara. Tetapi Saya tidak menemukan pembahasan itu di dalam buku sejarah "Dari Perbendaharaan Lama."
Kaum syi'ah sendiri telah muncul di Bengkulu pada masa pembangunan Benteng Marlborought
Kaum syi'ah sendiri telah muncul di Bengkulu pada masa pembangunan Benteng Marlborought
(1718-1719). Inggris mendatangkan tukang dari Madras dan Bengali (India bagian Selatan,) yang masyarakatnya berhaluan syi'ah, dalam proses pengerjaan proyek tersebut. Dalam situs irib.ir direktori Indonesia termuat catatan sejarah versi syi'ah terhadap tamatnya faham wahabi. Pada masa pemerintahan Abdullah bin Saud bin Abdul Aziz, mekah dapat direbut dari kaum wahabi. Sikap tegas mereka dalam mendukung kemenangan itu tersirat dalam tulisan di situs tersebut.
Ibrahim Pasha menetap selama sembilan bulan di Dir'iyyah. Dia kemudian memerintahkan kota itu untuk dikosongkan dan dihancurkan. Ibrahim membunuh banyak keluarga dan keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab dan keluarga Saud atau mengasingkan mereka supaya tak ada lagi Wahhabi dan aliran sesat ini di muka bumi. Sultan Ottoman kemudian menunjuk Muhammad Ali Pasha sebagai penguasa kawasan Najed dan Hijaz. Dengan demikian, Wahhabi berhasil dibumihanguskan pada tahun 1234 H (1881 M). Sejak saat itu sampai seratus tahun kemudian tak ada yang tersisa dari aliran Wahhabi. Keceriaanpun kembali menyinari wajah umat Islam karena kekuasaan keluarga Saud dan Wahhabi yang bengis dan beringas berhasil dihancurkan. (IRIB Indonesia)
Setelah kemudian banyak juga ulama sepuh dari NU yang menolak konsep Islam Nusantara, maka semakin mengerucut pula dugaan Saya terhadap afiliasi syia'h untuk mendukung dikotomi terhadap Islam Arab. Meskipun masih tetap samar, karena gerombolan sepilis telah lebih dahulu menunggang kendaraan baru, JIN, dalam ide Islam Nusantara. Mereka begitu nyata mendukung jargon Islam Nusantara yang masih terus bergulir hingga sekarang. Atau memang pada dasarnya tidak alasan dari sisi kedekatan sejarah, akan tetapi murni kegagapan kaum komunis, sepilis, yang menular kepada kaum syi'ah terhadap perkembangan Islam. Kemudian mereka menginisiasi isu dalam dua kutub saja, bersama mereka atau mendapat label wahabi.
Sejarah sudah sering berulang. Boleh jadi apa yang pernah terjadi pada masa Buya Hamka atau yang lebih senior lagi dari generasi pejuang kemerdekaan, sedang menghampiri kita. Kita umat muslim sudah cukup berbahagia dengan kedekatan NU dan Muhammadiyah dalam dekade paling akhir ini. Dan sempat berharap tidak akan terjadi pertentangan di antara kaum muslimin yang sama. Apalagi jika kita kembali mengingat saat perhatian kita dialihkan pada isu-isu terorisme dan sepilis-me. Label Wahabi, yang umurnya telah sama tua dengan kemerdekaan RI itu, kini kembali dijual dengan sangat murah. Mungkin, hasil akhir dari isu ini juga tidak lebih sama. Dengan yang pernah terjadi dalam catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Unduh Sumber:
0 Komentar:
Posting Komentar