Smiley

2:34:00 PM
0
Membaca the Sealed Nectar pada bagian sejarah awal hijrah entah mengapa langsung merasakan keadaan yang sama dengan sekarang. Disebutkan bahwa mereka sangat ahli dalam seni mengumpulkan uang dan berdagang (hal 184, Ebook of First Edition). Apalagi setelah beberapa saat yang lalu sempat mempelajari skema boikot zionism secara internasional yang pernah digagas oleh Syeikh Yusuf Qardhawi (baca: Embargo ...). Dalam buku tersebut terdapat daftar komoditas yang telah mereka monopoli dari warga lokal asli, atau pribumi. Antara lain; sereal, kurma, minuman anggur, dan pakaian.

Memangnya mereka memonopoli apa sekarang? Ah, Saya perlu tarik ke belakang dulu untuk memberikan perbandingan. Karena monopoli pada jaman VOC dan kekinian telah mengalami perubahan wajah. Bahkan cara Jepang melindungi ekonomi mereka pun tidak dikatakan sebagai monopoli harga, meski dengan jelas pemerintah memaksakan harga pada komoditas tertentu. Brand sendiri telah menjadi senjata yang ampuh untuk menguasai pasar, dan ketergantungan pasar akan menjadi hal wajar untuk takluk. Dan ekonom menyebutnya sebagai hukum pasar.

Kembali kepada sejarah awal kehidupan di Madinah, ancaman apa yang paling dahsyat terhadap Yahudi? Selain kemapanan ekonomi dan politik dalam genggaman mereka. Politik devide et impera itu bukan hasil penemuan bangsa Belanda, tetapi ini adalah praktek yang sudah lazim dikuasai oleh bangsa Yahudi migrant di sekitar Madinah. Suku-suku di wilayah ini yang pada basisnya mengutub pada dua suku besar (Aus dan Khazraj), menjadi sasaran empuk kelihaian bangsa Yahudi. Walaupun mereka juga terpecah ke dalam dua kubu yang masing-masing menjadi sekutu suku utama di tanah Madinah.

Dan abad kemajuan ini, yang dilahirkan dari keberhasilan Yahudi memimpin dunia juga berdasarkan pada prinsip yang sama. Monopoli perdagangan dan riba. Tetapi seni yang telah mereka kuasai mampu menampakkan semua yang terjadi menjadi sesuatu yang lumrah. Natural, berdasarkan hukum pasar. Bahkan masyarakat kecil di desa pun sudah terbiasa dengan praktek ijon atau sewa beli tanah, apalagi bank thithil. Semua sudah lumrah dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua tergantung kepada sistem ekonomi ini, sadar atau tidak.

Saya pernah bekerja untuk sebuah manufaktur boiler yang dimiliki oleh pengusaha lokal. Demi untuk menaikkan pangsa pasar, Sang Owner harus merogoh kocek USD 14,000 hanya untuk daftar sertifikasi Boiler. Belum termasuk semua biaya selama proses inspeksi dan penerbitan stempel. Siapa yang menerbitkan lembar stempel itu? Lembaga besar dunia yang berpusat di Amerika bernama ASME. Tahukah Anda, dalam setiap produk pressure vessel atau boiler yang keluar dari perusahaan, terkena beban uang stempel. Satu unit satu stempel. Ada juga lembaga lain yang melakukan hal yang sama, untuk wilayah eropa dengan sertifikasi berkode EN. Mereka tidak akan mengakui produk boiler tanpa cap lembaga itu di perdagangan negara-negara anggota uni eropa.

Nah, ketika Indonesia dengan komunitas Muslim terbesar sedang berjuang dengan sertifikasi halal yang semakin diversif, tiba-tiba semua teriak. Dan mengatakan dengan lantang bahwa MUI sedang melakukan premanisme pasar. Dengan segera terjadi generalisasi terhadap pekerjaan MUI sebagai badan yang selalu meminta jatah. Apakah ada jaminan sertifikasi internasional semacam ASME itu lebih valid daripada sistem yang dikelola MUI. Masih ada agent sertifikasi ASME yang menikmati uang dengan lirikan juga. Sekedar formalitas dalam baju lembaga besar dunia. Mengapa tidak ada generalisasi untuk lembaga ini?

Perjuangan tidak pernah sempurna, bukan. Seperti catatan sejarah hari pertama Kerasulan di kota Yatsrib. Abdullah bin Salam adalah seorang rabbi yahudi yang diakui dan mungkin disertifikasi juga, oleh kabilah-kabilah Yahudi di pinggiran kota Yatsrib. Saat sampai berita keislamannya kepada para pemimpin dan kabilah-nya sendiri, mereka dengan segera mencabut semua ucapan mereka. Dan mereka memberi label baru kepada Abdullah bin Salam, the most evil of all evils. Maka jangan heran jika seluruh atmosfer yang dikuasai oleh polisi dunia sekarang ini, (Amerika) mudah memakai standard ganda. Sudah dari sononya begitu, kita cukup dan wajib tahu saja. Apalagi.

Benar, apalagi! Kita pun masih cukup ramai terlibat dalam sistem yang mereka kuasai. Baru saja kita sanggup berdiri di kaki sendiri dalam lembaga-lembaga syariah, sudah banyak dari kaum muslim sendiri yang memberikan label mengerikan. Mengatakan dengan lantang, bahwa lembaga syariah itu hanya jual label agama. Yang isi kutangnya sama saja, pinjam istilah Gus Dur. Padahal, yang sudah terbiasa dengan sistem itu siapa? Yang merasa nyaman dengan praktek itu siapa? Kita juga, kan. Barangkali, kita melirik syariah dengan niat yang lain. Berharap ada potongan harga dan diskon, hehe.

0 Komentar:

Posting Komentar