Smiley

11:12:00 AM
0
Bulan lalu mendengar banyak cerita ketika reuni dengan kawan lama, tempat bekerja dulu. Tentang keberhasilah cabang yang dipimpin dalam mencapai omzet, masuk lima besar dalam all branch meet up. Retreat yang menurutnya menghabiskan waktu, apalagi selalu diadakan di waktu weekend. Dan pasti masuk sorotan karena performance cabangnya belum bisa diandalkan, dibanding capaian pendahulunya. Dalam masalah angka, manusia memang serakah. Apalagi pihak top management yang memang selalu bekerja dengan statistik atau angka.

Kerja


Teman saya mengeluhkan apa yang terjadi dalam sudut pandang bisnis. Jika jumlah cabang perusahaan yang jumlah hampir mencapai setengah dari seratus, dan minimal menyumbang setengah milyar, berapa keuntungan totalnya? Tetapi hampir semua kepala cabang mengeluh hal yang sama, merasa kerja mereka belum maksimal. Menurut penilaian manajerial, dan angka statistik. Forsir dan tekanan terasa tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh, apa yang perusahaan dapat, dan kapabilitas mereka.

Sehari tidak pernah lebih dari 24 jam, bukan. Dalam skala internasional bahkan sebuh mesin dikatakan baik ketika pencapaian Overall Equipment Efficiencies atau OEE-nya mencapai 85%. Manajemen memandang manusia tanpa standard efisiensi namun menuntut lebih dari hasil kerja mesin. Tolok ukur dari penilaian adalah hasil dan statistik kerja yang didasarkan oleh kinerja perusahaan. Bukan dari kinerja manusia, dan membiarkan angka pada SDM ini kosong. Sehingga dengan alasan yang tricky, mudah mengkambingkan kesalahan seorang kepala cabang.

Ah, ternyata kesimpulan dunia industri hampir selalu sama. Manusia akan selalu berubah standardnya dalam performance. Karena cara pandang terhadap kerja SDM tidak pernah mengacu kepada ukuran yang sama. Jika seorang kepala cabang berhasil menaikkan omzet bulan ini, bisa jadi bulan depan menuai kritik. Karena omzetnya tidak naik secara signifikan. Hanya landai dalam kurva kenaikan. Maka pujian bulan ini dijamin akan melayang bulan depan. Dan selalu ada kekhawatiran dari teman saya tersebut, karena tidak ada jaminan kontrak kerja.

Manajemen di ujung tanduk, memaksa karyawan untuk bertempur habis-habisan. Tidak menganggap mereka sebagai aset perusahaan, tetapi sapi perahan yang harus nurut. Beruntung kawan saya punya pandangan yang jauh. Masih sangat antusias untuk menyisihkan penghasilannya dalam investasi. Ya, anggap saja teman saya tersebut tidak mau kenal dengan dunia hedonis. Semacam dunia riba yang dahulu pernah membuatnya tersungkur dan jatuh. Ketika sudah tergantung kepada perusahaan, juga ditawan kebutuhan, tersandung fitnah. Maka mudah saja bagi perusahaan untuk menunjukkan angka. Laporan terakhir prestasinya, bukan sumbangsih selama bekerja.

Perusahaan tidak akan membuat kita merdeka, mungkin. Sehingga hampir di semua industri berlaku manajemen tipe ini. Agar dengan mudah mengendalikan karyawannya. Tetapi hati adalah letak kebahagiaan, selama kita masih bekuasa dengan hati, kita akan tetap merdeka. Mungkin kita harus menyembunyikan hati kita selama bekerja di perusahaan. Agar tidak tertawan. Tetapi begitulah dunia, akan selalu berusaha menawan kita dengan janji-janji indahnya. Tanpa sadar, kita telah di ujung tanduk yang tajam. Hal yang paling urgent dalam hidup adalah belajar kata 'tidak'.

0 Komentar:

Posting Komentar