Smiley

9:00:00 AM
0
Well, jujur kalau scene tidak seperti itu mungkin tidak seru. Misal jagoan menang mudah, terkesan membosankan. Atau jagoan kalah, terkesan tidak ada heroiknya. Hmm, seperti episode hidup kita saja. Mungkin itulah hidup, dibumbui dengan masalah, dimasak dengan kehilangan, dan ditakar dengan keyakinan.

Yah, biarkan hidup mengalir seperti sunahnya. Sebagaimana telah ditulis Kalam, sesuai perintah Sang Kalam. Hidup, alam semesta mengalir dengan formula atau rumus tertentu. Dengan variable x, y yang bisa dimainkan. Alam semesta sendiri diciptakan lebih akhir dari sistem, setelah sistem itu disimpan di Lauhul Mahfudz.

---

Mata yang Tertambat

Ramadhan, 25-1436 H

"Kalam telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering," tegas Rasul SAW bersabda kepada Ibn Abbas RA. Lalu bagaimana dengan lembaran kisah hidup kita? Apakah husnul khatimah, berakhir di surgaNya yang seluas langit dan bumi. Ataukah kita hanya kerak kecil dari neraka yang adzabnya kekal nan abadi.

Karena takdir telah diputuskan, percuma kita berusaha. Seperti sebuah adegan film yang telah jelas siapa yang menang dan yang kalah. Jika Allah menentukan kita sebagai tokoh antagonis, apa yang bisa kita lakukan? Selain menjalaninya dengan sepenuh hati. Jika tertulis kita mati dalam kekafiran, mungkin itu buah dari ibadah kita selama ini. Yang memang telah diputuskan su'ul khatimah, tentu kita harus rela dan menerima dengan ikhlas. Benarkah kita rela masuk neraka yang nyalanya saja dapat mendidihkan ubun-ubun, meski hanya menyentuh kaki kita. Sedang di yaumil akhir tinggi seorang manusia diserupakan seperti Nabi Adam AS.

Akhirat adalah sesuatu yang abadi, dan peran kita adalah kerak neraka. Mustahil kita menolak adegan yang telah disodorkan oleh Sutradara. Ketika Frank Thring menuliskan semua informasi pada papan klep, begitu juga hidup kita. Telah ditentukan Judul film, sutradara dan cameramannya, bahkan rumah produksinya, nomor kamera, nomor adegan, nomor shot, nomor take. Juga tanggal, bulan, dan tahun produksi. Itulah takdir kita. Namun mengapa dirahasiakan oleh Allah?

Ibn Abbas RA mengisahkan untaian kalimat dari Sang Tauladan, yaitu "Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu." Mengapa kita harus berusaha untuk menjaga Allah? Sedang kita hanya menjalankan takdir saja. Jika Allah memutuskan kita menjalani sebuah rangkaian adegan hidup, Kita hanya butuh berdiam saja. Andai pun seluruh umat muslim mengajak kita untuk mendekat kepada Allah, tidak ada yang sanggup mengalahkan kekuasaanNya. Tidak perlu susah payah bertaqarub. Beginilah adanya kita.

Kita sedang salah obat, sehingga kontradiksi terjadi ketika kita berharap sembuh dari penyakit. Luar biasa penyakit hati itu, hingga kita menyandarkan ikhtiar mendekat kepada Allah dalam genggaman takdir. Kita lupa, ketika kita sedang sakit flu saja apa yang telah kita usahakan. Sekuat tenaga berjuang untuk sembuh, karena merasakan tidak enaknya makanan saat flu. Mengapa kita tidak pasrah saja, ya!

Kita ini manusia yang suka menerka bagian yang ghaib, kemudian menukarnya. Jika kita percaya takdir Allah seperti itu, mengapa kita harus keluar rumah untuk bekerja. Berangkat sebelum matahari dan pulang setelah matahari. Demi indahnya dunia yang lebih dan lebih lagi. Mengapa kita tidak meniru cicak yang hanya menempel di dinding menunggu nyamuk. Ah, itu pun masih harus menggerakkan rahang untuk menangkap mangsa. Mungkin kita harus meniru Amuba.

Jika kita tidak perlu berusaha, tentu Rasul SAW akan mengatakan kepada sahabat ibn Abbas RA tentang pena itu di awal nasehat. Mengapa kita lupa, seorang pemeran antagonis mau menjalankan lakonnya karena bayaran yang tidak murah. Meskipun resikonya dia akan dicaci oleh penonton, tidak pernah dicintai. Apakah kita mau menerima bayaran berupa api neraka? Seperti Iblis yang diciptakan dari api, yang memakai baju kebesaran Allah dengan bangganya. Sanggupkah sehari saja di dalam api neraka, yang setetes cairannya saja mampu memusnahkan kehidupan di bumi.

Kita sepertinya harus bersikap realistis, bahwa janji Allah, siapa yang lebih menepi janji selain Allah. Kita adalah manusia yang diciptakan untuk senantiasa raja' kepada Allah, berharap karuniaNya. Dan juga makhluk yang berlindung dengan khauf kepadaNya, dari kekuasaanNya dalam menggenggam takdir. Dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. Jika kita berpikir untuk tidak mengusahakan sesuatu, tentu gunung-gunung itu yang menerima quran sebagai hukum. Tetapi bintang-bintang, planet-planet, dan bulan tidak sanggup memikul tanggung jawab itu.

Kita manusia yang punya waktu untuk tidak menaati Allah. Kita makhluk yang mampu sedetik berada dalam maksiat tanpa azab. Kita berolok dengan hukum Allah, namun tetap diberi kekayaan oleh Allah. Manusiakah kita? Sesungguhnya orang kafir itu berkhayal jika mereka dilahirkan sebagai tanah saja. Setelah menerima bayaran apa yang dilakukannya di dunia. Allahu a'lam.


0 Komentar:

Posting Komentar