Salah satu pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo tersebut kemudian mengajak jamaah untuk me-refresh, menyegarkan kembali pemikiran tentang sebab - sebab kemuliaan Ramadhan. Yang menurut kajian beliau tidak ada bulan hijriyah yang namanya disebut dalam Quran selain Ramadhan yang mulia. Membandingkan dengan bulan Dzulhijjah, atau kita di jawa sering menyebut wulan besar, yang penyambutan hajinya bisa dibuatkan barisan dari Juanda sampai Perak. Antri berangkat berhaji. Atau kehebatan sambutan wulan sawal, yang mengindonesia dan menyibukkan seluruh komponen pemerintahan. Tidak ada yang tersebutkan dalam Quran yang amat mulia.
Beliau kemudian mengajak untuk mengaji surat Al Baqarah ayat 185, yang di awali dengan penyebutan bulan Ramadhan. ila akhirihi.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Bahwa jika kita kaji ayat tersebut, memang Quran yang diturunkan dalam bulan Ramadhan sebagai pedoman hidup, petunjuk, bagi umat manusia. Serta menjadi penjelasan dari petunjuk dan pembeda terhadap yang haq dan bathil. Beliau juga memberikan penekanan bahwa alam dunia ini hanya sebentar saja kemudian kita akan menuju alam akhirat. Dalam tafsir Ibn Katsir, penulis menemukan penjelasan beberapa kita Allah yang diturunkan juga, ternyata di bulan Ramadhan. Berdasarkan hadits dari Watsilah ibn Al Asqa' radhiyallahu 'anhu dari Nabi ﷺ. Adalah Shuhuf Ibrahim ('alaihissalam), Taurat, dan Injil juga diturunkan pada bulan Ramadhan.
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتَ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشَرةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَنْزَلَ اللهُ الْقُرْآنَ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَان
Dari Quran, kita mengetahui kewajiban untuk menjalankan Shiyam selama Ramadhan. Dengan segala penekanan dan keringanan. Menurut beliau, ibadah ini adalah mengandung larangan terhadap yang enak - enak. Sehingga merupakan perintah yang tidak mudah.
Dengan sebuah hikmah, beliau melanjutkan bahwa, "Jangan Shiyam hanya sekedar puasa. Dan jangan Shalat hanya sekedar sembahyang." Karena dua hal yang sangat berbeda meskipun kita sudah sering menganggapnya sama. Beliau mengajak untuk menempatkan kembali istilah syar'i dari ubudiah Islam. Sebagai dicontohkan beliau, "orang Nganjuk sering bertanya, sampeyan sedang siyam?" Dalam bahasa jawa halus yang diaambil dari bahasa Aslinya, bahasa Arab.
Dijelaskan oleh beliau makna hikmah istilah syar'i di atas dengan memberikan contoh puasa yang diperintahkan oleh dokter. Dalam puasa menjelang proses operasi, misalnya. Kita diperbolehkan untuk minum dan tidak disunahkan sahur. Demikian juga, keadaan jika kita sedang puasa dan mengucapkan kata kotor, menurutkan amarah, dan banyak perbuatan buruk lain. Dari sisi kedokteran, tidak ada syarat demikian, tidak berpengaruh dalam jasad kita. Tetapi dalam Shiyam, kita dicegah dari apapun yang masuk ke dalam saluran pencernaan bahkan. Juga kita disunahkan untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan ifthar. Dan pahala kita seolah sia - sia jika kita turutkan perkataan buruk, amarah, kebohongan dan banyak lagi contoh perbuatan yang merusak pahala Shiyam.
Setelah memberi pemahaman tentang kaidah Shiyam, dan mengajak untuk belajar kepada hukum syar'i meskipun hanya dalam perkara penyebutan istilah, beliau menasihatkan tiga hal yang harus dikendalikan dalam ibadah Shiyam Ramadhan. Yaitu syahwat, nafsu, dan hawa. Syahwat adalah segala keinginan kepada kenikmatan, yang enak - enak. Nafsu adalah dorongan emosi, seperti nafsu amarah, misalnya. Sedangkan Hawa adalah pikiran atau ide - ide yang mengarah kepada sesuatu yang buruk (bathil). Tiga hal yang juga dalam sehari kita, memaknainya dalam pengertian yang kurang tepat.
---
Kajian malam ketiga ini sungguh memberikan kesan mendalam, bahwa selama ini kita telah semakin jauh dengan makna yang dalam tentang keislaman. Terdapat indikasi dalam bahasa, sudah merasa biasa dengan deislamisasi bahasa yang telah sedang berjalan dan berlangsung lama. Menjadikan banyak umat muslim, yang salah menyikapi syariat dan kaidah ilmu. Jika hingga kini kita belum memahami, semoga dalam mengkaji islam ke depan kita jauh lebih condong ke dalam Islam itu sendiri. Bukan terlena dengan bahasa yang terlihat halus, cerdas dan ilmiah, yang justru menjauhkan kita dari sumber - sumber ilmu islam.
0 Komentar:
Posting Komentar