Smiley

8:00:00 AM
1
Katanya, jika kita berada pada suatu tempat beserta suasana yang tidak kita ketahui awalnya. Tidak kita ingat jalan dan cara kita mencapainya, berarti kita sedang bermimpi.

"Faktanya, tidak ada yang dapat menjadi alasan untuk menerima Anda, Bung!"
Adegan ini rasanya klise, mungkin sedang syuting FTV. "Walaupun setengah dari satu saja alasan?!"
"Memang begitulah, semua yang ada dalam tulisan Anda itu fiktif. Dunia baru yang berasal dari imajinasi dan akal bulus." Sosok yang tanpa tedeng aling-aling ini, tidak berani Aku menatap wajahnya. Hanya suara yang penuh karisma tanpa cengkok khas perempuan. Tegas, meski ada getaran karena sifat malu.

Memang tidak ada penjelasan yang terang tentang apa yang kita bicarakan. Hanya saja Aku merasa ini menyangkut siapa Aku, di antara dua dunia. Yang sezaman dengan banyak perubahan, tentang bagaimana manusia terhubung secara sosial. "Hm, ... dan tahukah?! Pada hematnya, Aku juga dalam rasa yang sama. Mungkin kita memang berjodoh."
"Hahaha ... Mengapa Anda gegabah menyimpulkan?! Itu bahkan tidak bisa menjadi setengah alasan yang berharga."
"Anggap saja Aku sedang optimis dengan level ndewo. Dan dengan begitu maka ada bagian yang Aku ambil dari lakon yang maya." Seperti kisahku yang tetap optimis memperjuangkan satu porsi klepon. Taktis dan ritmis, pantang menyerah.

"Ya, ...?!"
"Di dalam sebuah kisah yang kita reka menjadi tulisan, kita bisa bebas menabrak resiko, bukan?! Dan Aku, kadang terlalu berani mengambil resiko. Seolah 30 tahun ke depan itu memang amat singkat, di dunia nyata. Tetapi, harapan ... Kadang sesuai nyatanya. Bahkan lebih."

"Hanya jika kita telah berhasil bersikap dengan low expectation terhadap kehidupan."

---

Setetes air yang memercik, memang memberi kehidupan. Hujan, dan Aku kembali ke dalam dunia nyata dalam sebuah kamar yang cukup luas. Seluas harapan yang bisa dengan mudah kita panjatkan di kala hujan turun. Dan selalu yang terbaik yang akan menjadi kenyataan. Karena memang kita sedang dalam pengujian.

Ah, meski dalam prakteknya kita sering tidak mampu melihat dengan jelas dan terang. Yang paling mudah adalah memberikan nilai minus terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita. Entah mengapa kita selalu berharap lebih dalam kehidupan, seolah kita sedang berdoa saja. Dalam berdoa, kita selalu belajar untuk menggantungkan harapan kita sejulang dengan bintang. Agar jika pun tidak sampai, jatuh di lautan bintang lain yang lebih dekat dengan bumi.

Mungkin kita memang selalu bertukar logika, secara tidak sadar. Ya, anggap saja kita selalu berdoa kemana pun kita pergi. Ketika masuk ke sebuah warung makan sederhana, kita berharap enak dan murah. Kita berdoa. Ketika hendak berkendara terlintas jalan yang lengang, lalu lintas sepi dan aman. Kita berdoa. Saat hujan turun, air terasa sejuk dalam bayangan kita. Tidak lebat dan berangin. Kita berdoa. Berdoa dan berharap terus yang terbaik. Hanya saja, yang terbaik menurutNya jauh lebih lembut. Lalu kita lupa, dan berkata kasar dalam hati. Mengumpat, mengeluh, dan nggrundhel.


1 Komentar:

  1. Iya sih. Manusia udah diberi yang terbaik menurutNya masih aja ngedumel ini itu. #kurangsyukur

    BalasHapus