Smiley

12:00:00 AM
0
Panen di Tengah Kepungan Capung


Aku bergerak menyebarkan bau harum santan yang tersentuh panas, menarik selera siapa pun. Budi mengucek matanya, sambil beringsut menuju tungku. Kalau Emak sudah mencampur parutan kelapa dan garam dengan nasi hangat, tidak ada yang menyurutkan langkahnya ke dapur. "Sudah Emak kepal tiga buah, Budi belajar mengepal sendiri, ya. Emak masih harus menuangkan santan. Pak Lik sebentar lagi berangkat ke sawah, mengantar bekal untuk orang yang pugut," ajak Emak sambil mendudukkan Budi di bangku. Di samping Emak yang sedang memarut kelapa. 

"Budi ikut ke sawah ya, Mak?" pinta Budi sambil mengunyah nasi kepal yang dikepalnya sendiri. "Katanya mau pergi nonton TV di rumah Pakde Jamal?" tanya Emak pelan. "Iya, habis Kak Wati pergi ke sawah. Budi ndak diajak, dibangunin saja enggak," jawab Budi bersungut sambil menjumput parutan kelapa. "Habis Budi kalau ke sawah takut panas," seru Emak sambil tertawa kecil. "Budi takut jadi hitam, Mak. Pasti diolok kembaran sama Kasiono." 

***

Budi sudah berlarian di pematang sawah, mengejar capung kecil yang terbang rendah. Capung sudah mulai berdatangan, padi mulai dipugut, lahan terbuka kembali. Sudah puluhan kali emak berseru pada Budi agar berhati - hati, Emak selalu begitu. Mata dan hatinya bisa dibagi, pugut sambil tetap ngemong. Wati sudah sibuk belajar memainkan ani - ani di belakang orang pugut. Menyisir cabang padi yang terlewat dari tangan penuai. Riang, sambil bersenda gurau dengan beberapa temannya. Belum lagi nanti jika sudah sampai di rumah, tangkai padi itu ditimbang dan jadi uang saku. Semangat, semua yang ada di sawah pagi itu. Seperti syukur, terhadap panen yang melimpah. Hamparan kuning keemasan sudah mulai berkurang berganti lahan luas penuh serdadu capung.


Rupanya bukan hanya Emak yang memperhatikan Budi, karena tingkah gesitnya yang diungguli capung. Terperosok ke sana - sini karena kalah berlomba dengan capung. Tidak ada seekor pun yang ditangkapnya, namun lumpur sawah sudah merubah warna baju dan celana. Gaya menangkap apa saja yang sudah dicobanya, bahkan Budi sudah mulai mengerti bahasa capung yang sedang terbang mengejeknya. Kekenyangan. Sudah tiada nampak wajah kecewa karena lupa membawa jaring penangkap ikan.


Hari ini, aku menjadi angin yang menyebarkan sikap syukur para petani. Yang hidup sederhana berdampingan dengan alam. Mengambil yang sedikit, secukup hidup padi dan harga lelah. Warna sawah kembali berubah, namun cakrawala tetap melukis Wilis. Yang tegak menjulang terbelah pandangan, seperti lukisan Budi di kertas gambarnya. Wajah siapapun hari ini terlihat kanyang, senyum tidak terbias. Lepas, dan syukur.

0 Komentar:

Posting Komentar