R Sahyo - Dalam buku "Mengaji" |
"Kak, Budi ingin belajar ngaji," bisik Budi lirih. Wati menghentikan langkahnya untuk membetulkan gendongan. Basah pakaian Budi sudah terasa di punggungnya. "Iya, tapi Budi jangan sakit ya," Wati meneruskan langkahnya yang tertatih kepayahan. Senyum kecilnya muncul saat Wati melihat tanaman pagar yang menghijau. Sudah dekat, hibur hatinya.
"Duh, ayo buru mandi air hangat. Pak Lik sudah siapkan di kamar mandi. Kamu mandi sekalian Wati, sudah sore." Kang Parjan berseru dari samping rumah sembari memasang plastik terpal untuk dapur darurat. Ibu - ibu tetangga sibuk di depan tungku, kadang masih tempias oleh sisa air hujan yang diterbangkan angin. Ramai bercakap untuk mengusir dingin yang semakin sulit diabaikan.
***
Riuh suara berat Bapak - bapak jamaah Yaasiin membaca tahlil. Yai Shobri memimpin dengan tetap menahan irama agar tidak payah diikuti. Aku bisa melihat pandangannya yang bercampur warna merah, bukan karena aku berhembus panas di wajahnya. Sepertinya Yai Shobri juga terpaut oleh Budi yang tertunduk di antara Bapak - bapak yang tetap bersemangat.
Budi duduk di depan pintu kamarnya, bermaksud ingin mengajikan Emak juga. Namun tanpa sadar lebih banyak bulir air mata yang jatuh dari bacaan yang bisa dia ikuti. Bacaan tahlil sudah akhir, Yai Shobri mempersilahkan Ustadz Fajar untuk memimpin do'a. Sambil bergerak berdiri, tujuannya duduk di samping Budi. Diraihnya punggung kecil itu untuk dipangkunya. "Nak, kamu ingat mangga yang kapan hari engkau lempari dengan batu? Tadi sore jatuh sendiri, Yai sudah bersihkan. Besok diambil ya sambil mengantarkan kakakmu sekolah," bisik Yai Shobri menghibur Budi yang sudah tersadar dari tangisan kecilnya.
"Yai, Emak pasti marah sama Budi." Yai Shobri tertegun oleh ucapan Si Kecil itu, mereka makna. "Budi tadi ikut ngaji, tapi ndak bisa menirukan Yai. Budi ndak bisa ngajikan Emak, Budi nakal." Terhembus berat nafas Yai Sobhri sembari mengaminkan do'a yang sedang mengalun. Kini bulir air mata yang ditahannya telah lolos di wajahnya.
Dipeluknya Budi erat, "tidak, Nak. Budi tidak nakal. Yai Shobri yang nakal, karena kurang telaten mengajarimu. Lebih cepat tangan Yai memukulmu dari batas sabar." Bergetar suara Yai Shobri, lirih. Seakan tidak hendak tersebarkan angin. "Budi mau belajar ngaji lagi, Yai."
0 Komentar:
Posting Komentar