#Beemoslem eslilinyoghurt.wordpress.com |
Sebagai seorang anak kecil yang keranjingan aktivitas, sayang jika melewatkan tengah hari dengan tidur siang. Biarpun Emak mengacungkan sepotong ranting memaksa pulang. Biasanya Budi langsung merayap di tiap ranting pohon jambu air depan rumah. Berebut air manis menyegarkan dari jambu air dengan semut rangrang. Tapi kali ini Budi hanya tiduran di bawah pohon asam jawa yang adem. "Aku tidur di sini aja," teriak Budi tadi pada Emak karena merasa tidak mengantuk. Meskipun terus mengomel tapi setidaknya Emak tidak menyeret Budi pulang.
Adem semilir aku berhembus, mulai mengganggu mata Budi. Membuatnya harus berjuang melawan kantuk, jiwa bolangnya tidak mau kalah. "Petualangan hari ini belum selesai ..." bisik Budi padaku yang menjelma Sang Bayu. Tiba - tiba ada bunyi 'klinthing' khas yang di gantungkan di leher sapi, merembes dari gerakan angin siang. Membuat Budi segera bangun demi melihat cikar atau kereta sapi. Budi segera berlari meraihnya barang sebentar, sebelum Sang Kusir melecutkan cemeti kecilnya mengusir Budi.
Aku mengingatkan Budi dengan suara klinthing yang menjauh, hari ini adalah selasa. Meloncat Budi begitu terbayang es lilin putih segar. Budi menjadi faham mengapa tadi Emak tidak memaksanya pulang. Karena Emak tau pasti, Budi bakal minta upah es lilin untuk tidur siang. Menyesal, tampak terlihat di wajah Budi, mengapa tidak mau nurut tadi. Sekarang Budi harus berpikir sendiri. "Terpaksa," batin Budi. Ya, Budi terpaksa harus menggunakan harta karun, yang dirahasiakannya juga dariku. Otak Budi segera membentangkan peta letak harta karun. Budi memberi tanda lingkaran untuk tempat harta karun.
Mengatur siasat, Budi mengirakan waktu tercepat Pak Mul penjual es lilin lewat. Kemudian Budi memberi tanda lima tempat terdekat, dengan tanda silang. Kemudian mulai menghitung ulang berapa banyak angka rupiah di masing - masing tempat itu. "Hmm.. Jika tidak salah aku hanya perlu menuju 3 titik. Titik 2 menyediakan 10 rupiah. Minggu lalu aku berhasil menggali dua keping 5 rupiah di bawah lemari dapur 'keramat' milik nenek. Titik 5 dan 3 masing - masing ada satu keping 5 rupiah. Hasil pencarian selama seminggu di comberan dekat kamar mandi," bisik Budi berdiskusi dengan dirinya sendiri.
"Sedangkan satu keping 5 rupiah lagi ada di dalam saku celana. Keberuntungan tadi pagi saat bermain di pasar. Terselip di selokan." Budi tidak membuang waktu lagi, langsung meniru para Ranger yang berencana menyusup ke tempat persembunyian musuh.
Lengkap sudah, 5 keping uang ada di tangan Budi yang kecil. Kini saatnya mengeluarkan jurus terakhir. Berunding.
Ting ting ting... "Pak Mul, tumbas!!" lengking suara Budi mengalahkan suara lonceng kecil yang di pukul Pak Mul. Suaranya mirip lonceng sapi. Itulah mengapa Budi jadi teringat dengan es lilin.
"Pak Mul, saya punya lima keping harta karun. Boleh ditukar setengah potong es lilin," Budi mulai mengajukan penawaran.
"Apa itu, bocah?" Pak Mul meneliti wajah Budi, faham jika anak kecil ini cerdik nakal seperti yang lalu.
"Kalo yang ini sudah takbersihkan. Mengkilap," ujar Budi masih menyembunyikan keping uang. Mencoba mencari ketertarikan Pak Mul.
"Tahun berapa dulu?" seru Pak Mul yan mulai tertarik. Menyelidik pelajaran angka yang telah lama diajarkan pada Budi, setiap membeli es lilin.
"Dua keping tahun 71, yang lain tahun 78."
"Bener nggak tahunnya?" Pak Mul ikut mengintip keping uang di tangan Budi.
"Tapi masih bagus," Budi berpromosi. Tetap bergeming dengan tahun uang.
"Angka berapa?" tanya Pak Mul semakin tidak sabar.
"5 rupiah." Lama sekali Pak Mul memandang Budi, saat itulah Budi akan meluncurkan jurus pamungkas. Mengerjap 3 tiga kali, dan segalanya akan berakhir sempurna. Aku turut berhitung dengan hatinya. Satu.... Dua..... Tiga... Dan tangan Pak Mul mulai masuk ke wadah es lilin. Mengambil setengah potong es lilin yang entah milik siapa potongan lainnya.
Bulir es yang mencair segera direnggut dengan bibir kecilnya. Segar, "tapi ingat, bulan depan baru kau boleh bawa lagi harta karunmu," Pak Mul mengingatkan perjanjian mereka.
"Heemmpphh," jawab Budi dalam dengan mulut masih penuh. Semenit kemudian Budi sudah bertengger di pucuk dahan pohon jambu biji. Rahasia mereka aman bersama suara ting ting Pak Mul yang semakin lirih. Siang itu, Budi menjilati es lilin sampai tetes lelehan terakhirnya. Tanpa gangguan, bagaikan dunia telah dibelinya dengan 25 perak. "Yiha yihaaaa," Budi berayun seolah Pangeran Brama Kumbara yang pulang dari peperangan.
0 Komentar:
Posting Komentar