Lautan luas tidak mengetahui seberapa dalam dirinya. Entah jika kita bicara tentang luasnya. Aku sungguh sekarang menjadi tahu, jika ternyata aku begitu mengagumi diriku sendiri. Bagai orang mencintai lawan jenisnya. Ini hal serius, mengingat aku juga termasuk mereka yang sulit jujur kepada dirinya sendiri. Mengapa Aku bisa mengatakan begitu? Bukankah kita sering lebih senang berkumpul dengan orang - orang yang se-hobby dengan kita?! Dan itu juga terlihat pada gejala umum, saat banyak kesamaan lain yang membuat kita nyaman dengan seseorang. Dan ini dan itu, yang membuat kita semacam ''klik'' dengan seseorang. Kesamaan, kemiripan, satu frekuensi, bukankah kita tertarik dengan lawan jenis karena itu semua? Jadi, aku menyimpulkan bahwa Aku sedang jatuh cinta dengan diriku sendiri. Pernah merasa seperti itu? Kita memang sedang mencari diri kita di luar, sih.
Tetapi jangan menganggap Aku seperti Narcissus yang tidak bisa bercermin karena terlalu sayang dengan dirinya. Matilah dia karena terlalu asyik melihat bayangan diri di atas air, jatuh cinta membawa maut. Atau seperti Phoenician yang berusaha sekuat tenaga untuk merubah patung rekaannya menjadi seorang kekasih tiada dua. Tentu kemudian jadi gila, jatuh cinta menghilangkan jiwa. Aku sedang merasa, bahwa seseorang telah begitu mudah membuat Aku lupa akan beberapa prinsip. Dari ketidaksengajaan merasai hangat tangannya, menjadi semacam rindu ketika sadar tanganku selalu dingin. Berdekatan karena ada pekerjaan yang membutuhkan kerjasama, berubah menjadi rasa kehilangan jika jauh dan sendiri. Seolah menjadi keharusan untuk meneruskan kedekatan. Dan semua itu berawal dari satu per satu rahasia personality yang terbuka. Aku seperti bercermin dan melihat bayangan diriku yang tersenyum. Menemukan diriku di luar.
Duh, kala bermain diksi sudahlah semua kenangan mengambang dalam langit sandiwara. Ketika merasakan betapa senang mendapatkan waktu untuk bersama, berputar kembali seperti pita film. Ada satu yang membuatku tertawa mengenangnya. Biasanya janji berkumpul yang tidak ditepati bisa membuatku kecewa, namun kalau hal itu justru menjadi kesempatan untuk berdua saja, wow! Berdebar - debar di dada, tiba - tiba dua bagian dalam diriku berubah menjadi tim kerja yang solid untuk membuat rencana. Ah, dan kemudian Aku larut dalam lamunan tentang rincian beberapa modus. Betapa malu, ya ... Mungkin sudah saatnya Aku pergi karena hati sudah bingung. Hati bukan untuk main - main. Berhentilah wahai semut!
Aku tidak ahli dalam mengendalikan air, udara, api, atau tanah maupun hati. Jika sekali saja aku memberikan jalan kepada hatiku, tidak ada yang bisa menghentikan perasaan itu selain jarak dan waktu. Aku seperti semut, yang sedang menginderai feromon penuntun. Aku mencintainya, karena itu aku ingin lebih dekat. Agar aku dapat menginderai kehangatannya, suaranya, dan her-smell. Karena itu, semua modus terpikirkan untuk selalu mendapatkan lebih dari sekedar kebetulan. Padahal pada awalnya hatiku berbisik, ketika kebetulan - kebetulan itu terjadi, memohon ampun karena telah merendahkan seorang calon Ibu. Lupa diri.
Kemana suara - suara itu kemudian menghilang, aku bahagia tidak menemukannya lagi. Hatiku banyak bercerita tentang kenangan kecil yang mendebarkan. Hatiku bertanya kapan aku dapat mengobati rasa rindu. Hatiku menanti keberanian untuk mengutarakan rasa kasih itu. Seperti pada malam itu, ketika otak kreatif ini menghasilkan modus - modus untuk mendapatkan rasa cinta dan kasih yang lebih, atau menunjukkan kepadanya. Dan semut menemukan jalur feromonnya, tunduk sajalah.
Namun dalam kesibukan itu tiba - tiba terbayang wajah Ayahnya. Dan aku melihat di wajahnya, raut seseorang yang telah disakiti hatinya. Oh, rupanya suara - suara hati itu telah menjelma menjadi sebuah ilusi sekarang. Tetapi, mengapa aku merasa bahwa itulah yang memang terjadi. Berapa kali aku menyakiti Ayahnya? Berapa kali, sampai menyusup dalam lamunan. Dan jika rasa sakit itu diubah menjadi sebuah air mata, apakah sudah seperti lautan? Perasaan bersalah memang tidak pernah hilang, seperti energi yang tidak dapat dimusnahkan. Karena Aku mulai membiarkan bagian - bagian yang dianggap umum di dalam pergaulan, lupa diri. Padahal bagian itu terhubung dengan rasa salah. Bukanlah buliran air hujan yang sedikit, kemudian menjadi lautan luas? Ah, bagai semut mendapatkan gula. Sedikit demi sedikit menjadi bagian koloni dunia. Menjadi semut yang sama, tergerak oleh budaya yang sama. Atau mungkin sejatinya sedang menjadi gula yang diperebutkan oleh semut. Apakah ada wasp yang tanpa sepengetahuanku telah menyuntikkan larvanya? Atau tanpa tersengaja menelan spora cinta? Lupa diri.
20 Rajab 1436 H
Namun dalam kesibukan itu tiba - tiba terbayang wajah Ayahnya. Dan aku melihat di wajahnya, raut seseorang yang telah disakiti hatinya. Oh, rupanya suara - suara hati itu telah menjelma menjadi sebuah ilusi sekarang. Tetapi, mengapa aku merasa bahwa itulah yang memang terjadi. Berapa kali aku menyakiti Ayahnya? Berapa kali, sampai menyusup dalam lamunan. Dan jika rasa sakit itu diubah menjadi sebuah air mata, apakah sudah seperti lautan? Perasaan bersalah memang tidak pernah hilang, seperti energi yang tidak dapat dimusnahkan. Karena Aku mulai membiarkan bagian - bagian yang dianggap umum di dalam pergaulan, lupa diri. Padahal bagian itu terhubung dengan rasa salah. Bukanlah buliran air hujan yang sedikit, kemudian menjadi lautan luas? Ah, bagai semut mendapatkan gula. Sedikit demi sedikit menjadi bagian koloni dunia. Menjadi semut yang sama, tergerak oleh budaya yang sama. Atau mungkin sejatinya sedang menjadi gula yang diperebutkan oleh semut. Apakah ada wasp yang tanpa sepengetahuanku telah menyuntikkan larvanya? Atau tanpa tersengaja menelan spora cinta? Lupa diri.
20 Rajab 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar