Jangan melihat sebuah buku dari sampulnya, menurut sebuah pepatah. Karena memang dalam setiap sampul buku terdapat kata - kata yang menarik perhatian mata. Mungkin hanya berupa judul, tidak secara utuh. Tetapi, kenapa menentukan judul menjadi hal rumit bagi Langit. Selarik kata yang selalu dicoret oleh Pak Bambang, Sang Penentu gelar sarjana. Penghalang utama kelulusan yang sudah menjadi idaman. Orang yang menjabat Dosen Pembimbing Tugas Akhir, khusus untuk yang memilih beliaunya secara sadar.
"Bapak bahkan belum membuka halaman pertama proposal Tugas Akhir Saya. Bagaimana mungkin Bapak menilai judul tersebut salah?" sanggah Langit. "Itulah, Anak Muda. Halaman pertama Bukumu adalah Sampul. Jadi harus sempurna. Dan ini halaman kedua yang akan menjadi padanan Sampulmu, bukan?" jawaban yang membuat kecut hati Langit keluar dari Sang Dosen. Kalah diplomasi secara vulgar. Demi sebuah judul yang dapat memuaskan minat Pak Bambang, "apakah butuh Ghibran?!" batin Langit, membuat nyali semakin kecil.
Sedikit awal kisah hubungan dosen dan mahasiswa yang tidak terbayangkan di benak Langit. Ibarat di atas langit masih ada langit, adalah dua peran yang saling mengungguli dalam hubungan itu. Langit, mahasiswa yang menyukai kata idealis itu dipertemukan dalam satu kotak kesempurnaan bersama Pak Bambang. Pak Bambang memang terkenal sulit ditaklukkan dengan standard buatannya. Sedang Langit, cuma mahasiswa idealis yang masih belum banyak memanen garam di dunia nyata. Meskipun segudang buku telah dia habiskan seperti kutu buku merusak lembaran kertas buku - buku lama yang tak terurus.
Bagian mana yang akan menarik, tentu masih samar. Seperti perasaan Langit yang buram terhadap kesalahannya, dalam pandangan Sang Dosen. Langit seperti masuk ke dalam hutan lebat tanpa orientasi. Seperti seorang yang baru sadar dari pingsan yang lama. "Apa sih masalahnya dengan judulku?" batin Langit mengukur tinggi idenya.
Terbayang wajah letih Ibunya saat menantikan jawaban dari Langit, tentang waktu kelulusan yang sulit ia janjikan. Terlintas sawah - sawah hijau di bawah langit yang menghijau menantang biru. Langit memacu semangatnya kembali, agar besok pagi kakinya mau berangkat kembali ke Perustakaan Pusat. Dibuangnya jauh - jauh sedikit bayangan penghukuman atas keterlambatan studinya. Meski itu jauh dari mudah, memaafkan dirinya sendiri dari kecaman tradisi Teknik Industri. Mahasiswa cerdas cepat kelar kuliah, adalah ujaran yang dianggap benar di dalam dan di luar kalangan.
Terbayang wajah letih Ibunya saat menantikan jawaban dari Langit, tentang waktu kelulusan yang sulit ia janjikan. Terlintas sawah - sawah hijau di bawah langit yang menghijau menantang biru. Langit memacu semangatnya kembali, agar besok pagi kakinya mau berangkat kembali ke Perustakaan Pusat. Dibuangnya jauh - jauh sedikit bayangan penghukuman atas keterlambatan studinya. Meski itu jauh dari mudah, memaafkan dirinya sendiri dari kecaman tradisi Teknik Industri. Mahasiswa cerdas cepat kelar kuliah, adalah ujaran yang dianggap benar di dalam dan di luar kalangan.
Langit beku, membenamkan diri di sebuah meja bersama banyak buku tebal. Langit menambahkan beberapa penanda paragraf penting yang dapat digunakan untuk mengisi kekurangan literatur. Dikecewakan sebentar oleh Langit, semua keinginan untuk sedikit bermalas - malasan. Maklum, musim hujan begini bertambah - tambah dingin terasa udara ruangan perpustakaan. Semakin dingin, seperti wajah pucat Sang Ibu yang terbaring lemah, yang tetap terlintas meski sudah berusaha dibenamkan ke dalam hatinya. Hanya semalam Langit dapat menemani Sang Ibu yang sedang sakit. Dua hari lagi seminar proposal, dan besok semua landasan teori sudah harus pantas, begitu pesan Pak Bambang. Berat hati, Langit berada di ruangan itu. Tetapi apalah arti pilihan, saat kita tidak dapat mengambil satu di antara dua.