Smiley

0
Aku masih ingat debar jantungnya saat pertama  meminum air garam itu. Entah kata apa yang bisa menjelaskan, karena memang semua berjalan begitu saja seperti bunga melati yang mengering perlahan. Kembang melati putih yang selalu dipetiknya untukku. Kejutan - kejutan melati kecil yang biasa membuatku tersenyum seharian dan juga setiap kali melihatnya mengering. Bahkan baunya seperti asap rokok yang khusus lewat filter ke dalam paru - paru. Mungkin tidak bisa dijelaskan oleh orang yang terbatuk terkena asap ampas, analoginya.

Pagi Sibuk

Itu memang memenuhi hatiku setelah Emak pergi, karena Dia lah yang pertama mengganti. Rasanya begitu penuh, dan condong. Dan dalam hari - hari kemudian rasa itu semakin besar, seolah tidak cukup sekali seminggu bertemu dengan sembunyi - sembunyi, memanfaatkan waktu di sela kegiatan rutin RT. Sampai benar -benar hubungan itu menjadi umum dan diawasi oleh semua mata. Mulai teriakan iri hingga skeptis. Indah saja rasanya, karena itu mungkin kemudian terkenal dengan sebutan "indah - indahan". Semakin haus dan kekurangan.

Hahaha, tetapi dasar polos, jadi hambar juga. Karena memang tipikal gampang bosan, dan terlalu kreatif. Mulai ada pertengkaran - pertengkaran kecil, cemburu dan entahlah. Beruntung juga terjadi hal yang demikian, atau jika tidak dikatakan sebagai kesialan seumur - umur. Jadi tahu bagaimana rasanya, ketika rajin shalat malam karena cita - cita, namun sering juga asyik masyuk. Kontradiktif, yang membuat hati berdebar - debar. Sekali waktu begitu sadar salah, jaga jarak, namun rindu semakin besar. Semakin jauh semakin tersiksa, dan ketika bertemu jadi sangat dekat. Karena saking kangen, kecolongan diri dari pengawasan. Ketahuan pacaran, duh, meskipun tidak dihukum tapi didiamkan begitu lama sampai perasaan bersalah menjadi begitu besar. Ya mungkin karena sudah ada bukti sekarang, jadi jelas sikap yang biasanya dijadikan becandaan adalah masalah serius.

Sebenarnya sudah lama juga merasa salah, ketika beberapa murid mengaji sorak - soraki seru. Ah, ini gimana ceritanya. Contoh yang buruk jadinya, walaupun dengan pembenaran bahwa hanya mengobrol saja. Mungkin itu juga yang menjadi sebab murid - murid usia TK itu kadang sulit diajar mengaji. Semakin besar rasa bersalah itu, dan semakin jauh juga dalam hubungan. Apalagi setelah masuk masa ospek atau pengkaderan awal kuliah. Mulai masuk ide - ide baru yang menantang, melihat masa depan. Jadi tua dalam berpikir, semua jadi semakin rumit. Sampai akhirnya rusak hubungan itu, tidak mudah menjelaskan logika dalam rasa salah. Padahal rindu tidak pernah berkurang, kerinduan pada debar - debar itu. Tidak mudah melewati kehausan ini, semua berantakan. Hancur, kuliah jebol masuk golongan nasakom alias nasib IP satu koma. Dan tetap menjadi status quo sampai setahun pertama sebagai mahasiswa baru, galau istilah jaman sekarang.

Sungguh, kita bisa menjadi gila dan tetap bahagia jika kita sedang tidak tahu apa yang kita lakukan salah. Tapi, hal yang paling menyiksa adalah ketika kita tahu bahwa apa yang kita lakukan salah namun kita tidak mampu berkata tidak. Padahal awalnya hanya karena mencoba, dijalani saja. Aku jadi merasa senasib dengan para pecandu narkoba dan sejenisnya yang sempat jadi teman gila masa abu - abu. Jadi wajar jika nyampur bergaul dengan mereka. Senasib dalam kehausan air garam, dan semakin haus. Menjadi semut - semut kecil, korban yang tidak mampu memilih.

See U when

Sungguh, biarpun itu air garam Aku masih juga rindu rasanya. Apalagi sudah jadi hal biasa dalam pergaulan remaja dan didukung oleh kapitalisme modern. Biarpun tahu akan kehausan dan semakin haus. Wataknya memang kreatif, sampai ketika dekat dengan seseorang tercipta satu buku kumpulan cerpen. Demi sebuah jawaban tentang perasaan yang sama. Pesona air garam yang biru memang menenggelamkan, meskipun aku tidak pernah benar - benar menjalin hubungan lagi. Sebagai konsekuensi dari hubungan pertama yang menurutku memang tidak pernah bisa main - main. Ah, meskipun tentu sering terlibat perasaan - perasaan itu karena pengaruh lokasi. Dari dekat sekedarnya dan kemudian jadi rindu. Karena memang ada bekas di dalam hati, ruang yang sudah hilang kuncinya. Mudah terbuka dan cenderung. Dan tentu kemudian harus sering bergerak jauh dengan tega. Jahat sekali.

Itulah hatiku, sungguh cenderung. Tetapi tetap saja semua yang aku rasakan adalah serius dan tidak bisa tidak menganggapnya sebagai hal serius. Jadi jangan salah faham menganggap sebagai fanatik, meskipun memang radikal. Cuma makhluk biasa, tidak pernah bermutasi apalagi berevolusi. Hanya berusaha menjadi semakin baik setelah mendapatkan jawaban - jawaban tentang tuntunan. Makna dibalik ini - itu yang dilarang. Menjadi semut kadang membuat kita terlena. Bahkan jika yang manis itu ternyata air garam, oleh kepentingan koloni besar. Akan aneh jika seekor semut tidak menuruti feromon kepatuhan yang diberikan koloni. Ah, atau mungkin kita ini hanya gula yang sedang diperebutkan oleh semut. Bukan semut itu sendiri.

12 Rajab 1436 H

0 Komentar:

Posting Komentar