Smiley

6:30:00 AM
0
Blog ini sudah seperti rumah untuk belajar bagiku. Saat memulai bangunan rumah ini, masih jelas rekaman tentang bulan istimewa itu. Bulan yang tetap memanggilku, meskipun telah jauh. Aku ingat ketika berpindah - pindah masjid, mencari jawaban tentang sesuatu. Apa sebenarnya yang memanggil hatiku, sehingga selalu saja kembali ke Surabaya. Ketika Aku mulai meninggalkan Indonesia Barat, beranjak menuju timur, justru berakhir sujud kembali di kota pahlawan ini. Dari sikap nomaden masjid ke masjid, kemudian Aku terhenti di sebuah masjid yang berulang kusinggahi. Meskipun bukan jadwal yang seharusnya. Al Falah.

Aku ingat, ketika pertama kali lantunan surah Ar Rahman membuatku meneteskan air mata. Tanpa ada sebab yang begitu dalam di pikiranku. Meskipun dalam keseharian Aku sering singgah di Masjid Baitur Rahman, ya jika itu bisa dianggap pertanda. Disiapkan begitu saja sebelum sampai di Al Falah. Aku tidak sadar dengan kesombonganku, mungkin itu yang ingin dikatakan hatiku dengan air mata. Air mata yang tidak bisa kudapatkan lagi kecuali hanya sekali itu. Sekeras apapun Aku berusaha khusyuk. Dan dalam kesan yang dalam, kemudian kutulis semua perenunganku dalam rumah ini. Perlu dua puluh hari memilah satu per satu kesombongan dalam diriku.

Jawaban atas Pahlawan

Perenungan itu kemudian menjadi bekal ketika Aku memutuskan berjalan lagi menuju ke timur, di tempat yang sama. Mengapa memilih tempat yang sama itu? Aku hanya berpikir, mungkin ada jawaban yang lebih baik. Nekat dengan segala resiko, yang tentu saja hanya ditanggung penumpang, terdampar kembali di Samarinda.

Dalam kesempatan ini pun Aku gagal lagi menemukan jawaban pasti, seolah ditarik kembali ke Surabaya. Untuk kemudian menyungkur kembali mencari jawaban. Tahun itu hampir seluruh ramadhan membuatku singgah qiyamul lail di Al Falah. Semakin dalam kesan yang tinggal di hatiku. Ada yang selalu membuatku kembali ke sini selama ramadhan itu, padahal Aku tidak pernah mendapatkan jatah beasiswa dari YDSF. Jika bicara tentang hal yang membuatku bersinggungan. Hanya sekedar tahu saja, lebih cenderung menjadi anak asuh PT. Telkom, lebih dekat ke sana. Bahkan ketika belajar untuk dagang pun terinspirasi dari PT. Telkom. Juga bukan karena hutang budi, nyatanya seketika terbantahkan.

Ah, tetapi memang yang selalu Aku rindukan sebenarnya lantunan surah Ar Rahman itu. Dari suara imam yang sama itu, yang selalu mengoyak hati. Dan hanya ketika imam itu yang membacanya, seingatku. Meskipun kemudian beberapa surah yang dibacanya sesekali punya efek yang sama. Jadi, apakah karena sinkronisasi hati? Karena pengalaman hidup yang hampir sama. Aku takut menyimpulkan, tetapi saat itu memang hanya itu yang bisa menjadi jawaban. Yang tetap menjadi fakta, sebaik apapun Aku bersiap untuk sujud, air mata itu tidak keluar sesuai persiapanku.

Keadaan kemudian menjadi lebih mudah setelah lama berjuang dari roda yang berputar ke bawah. Dengan senang hati langkahku selalu menuju Al Falah. Dalam bulan unik yang memang hanya sekali dalam tiap tahun. Bulan dengan efek luar biasa bagi banyak orang. Bulan yang membuat kita kembali dari hiruk - pikuk dunia. Tahun ketiga ini memiliki arti berbeda. Bahwa ternyata, meskipun hanya Ramadhan yang membuatku singgah di masjid itu, tetaplah karunia yang besar. Karena tidak semua orang diundang untuk menikmati jamuan Ramadhan. Banyak juga yang dipanggil dengan kesulitan, justru semakin menjauh dengan Ramadhan. Jadi, jika dulu berlabuh ke masjid itu karena sedang jatuh, itu tetap sebuah anugerah. Tetap merupakan panggilan yang menyenangkan, keberuntungan. Masing - masing kita dipanggil dengan hikmah yang tidak seratus persen sama memang.

Al Falah dan Kemenangan

Setelah tahun ketiga, Aku merasa telah menemukan jawaban tentang semua panggilan hati itu. Namun ketika jalanku berbelok, Aku sadar tidak begitu faktanya. Belum semua, dari pertanyaan telah mendapat jawaban. Membuatku bingung, dan kembali jauh. Ada pesona dunia yang tidak bisa dengan mudah Aku tinggalkan. Logikaku mulai menyusun puzzle kejadian menjadi sambungan cinta. Walaupun sadar aku hanya sedang meminum air garam cinta. Aku sombong dengan memutuskan bahwa Aku bisa belajar sambil berlalu. Selama tujuan untuk mendekat tetap sama. Kesombongan yang kemudian membuatku mendekat kembali. Aku berhari - hari menyusun rencana terbaik. Namun dalam sehari, Allah menghapus dengan sangat mudah.  Bukan benar jawaban yang kutemukan selama ini.

Bulan Rajab sudah mendekat, dan semakin dekat dengan dua puluh tujuh rajab. Keresahan hatiku mengingat Al Falah, membuatku malu. Jika tidak ada jawaban, dan harus kembali mencari di sana. Seandainya, Aku bisa ke sana dengan lebih tenang. Bersama hati yang telah bertemu jawaban. Alangkah menyenangkan, mengetahui panggilan apakah yang terus mengejar sejauh apapun Aku berjalan. Tidak juga dekat maupun jauh. Selalu saja ada yang menarik di Al Falah, mungkinkah ada kemenangan di sana? [Semoga]

Hari ini ada colekan kecil dari atribut yang sama, Al Falah. Tarikan kecil untuk faham, bahwa tidak mudah memahami panggilan itu. Tetapi Al Falah tetap memanggil, Hayya 'ala al falah. Aku ingat, saat puluhan tahun yang lalu. Saat - saat menyenangkan belajar syair - syair berisi ilmu. Madrasah lailiyah, sempalan PP Al Falah Ploso untuk warga kampung yang jauh lebih murah. Semangat menghafal bait - bait syair untuk setoran harian. Aku juga ingat, ketika itu, ada sesuatu yang aneh dalam dadaku. Yang tiba - tiba terasa berat walaupun hanya sekedar duduk mendengarkan pelajaran. Walaupun sekedar berbaring menghadap ke atas, terasa nyeri yang sangat saat bersujud. Ingat, wajah penuh do'a dari adikku. Aku ingat, saat kupasrahkan diriku, karena Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semua kenangan itu juga dekat dengan Al Falah, meski tinggal kenangan karena tergerus kebodohan.

Ah, Ramadhan adalah Al Falah. Kemenangan itu sendiri, yang akan nyata jika menjadi husnul khatimah. Saat 'iedul fitri tiba. Dan kita hanya diwajibkan untuk terus mempertahankan iman. Seperti para tentara, meskipun tangan tidak pernah menjatuhkan sebuah bom.

Panggilan - panggilan itu memang mendekatkan pada kemenangan. Namun, keriuhan dunia telah membuat bingung. Karena kurangnya ilmu, karena gelapnya pengaruh ghazwul fikri. Jawaban itu, adalah bahwa Aku tidak mampu menjawab semua keraguan tentang islam yang dipertanyakan dunia. Padahal Aku berislam, bagaimana iman itu akan bertahan? Jika kita tidak bergerak untuk ilmu. Aku memang belum pandai merangkai hujjah dalam kepala seperti seorang Zakeer Naik dan Ahmad Deedat, seorang profesor. Tetapi memilih untuk menulis adalah sebuah usaha untuk belajar. Meskipun tidak akan mudah mempertahankan niat di jalan ini. Dan seribu alasan lagi yang bisa kapan saja datang membuat ciut hati. Jika itu setimpal dengan apa yang ada dalam berita gembira. Biarlah getir, asalkan Aku bersama buku.

0 Komentar:

Posting Komentar