Smiley

8:00:00 PM
0
Seumur-umur, sejak dari kanak sampe' dipanggil kakak, baru kali ini aku mengenakan seragam keraton [adat pengantin jawa] lengkap. Di bagian pinggang belakang juga terselip keris, meskipun cuma keris dapuk-an [bukan beneran]. Pake' Blangkon juga. Hari itu kira-kira jam 4:30 sore aku selesai di-dandani, lanjut dengan foto-foto. Diarahkan oleh fotografer, serong kanan, kedua lengan diletakkan sejajar dengan pinggang. Pundak naik, pandangan ke depan. Belum pas juga, masih harus geleng kepala. Hehehe... Jepret!!! Good for a newcomer!

Jendela Nahkoda

Bukan untuk keperluan syuting, koq. Aku hanya didapuk menjadi pengiring untuk acara temu manten sepupuku, Umi Nafi'ah. Malu atau canggung sih tetap ada. Tetapi, toh juga ndak ada yang kenal. Karena saking lamanya aku tidak pernah ke Blitar. Kalaupun ada sesuatu yang aneh dengan penampakanku malam itu, paling mereka cuma bisa menerka, membatin. Cukup lega juga kalau malah ada yang 'charmed by me' [naluri lelaki lah]. Hehehe ... Rasanya baru kemaren aku melihat Umi kecil sedang malu-malu mengunyah jajanan sambil mengintip kakak sepupunya yang baru datang dari jauh. Masih 'sedikit' tidak percaya ini nyata, kalau sekarang dia sudah akan menikah [aku kapan???] dengan pangeran pujaan hati.

Mengabaikan perasaan grogi dan canggung, aku sukses juga naik Kuade [tempat manten dipajang] sesuai arahan pemimpin upacara [upacara bendera???]. Posisi badan ndak bisa bungkuk, seperti kebiasaan. Sehingga aku merasa hari itu jadi gagah [hehe] sesuai skenario. Yah, malam itu aku dipajang kurang lebih 2 jam. Tapi bukan di etalase tentunya...... Oh ya, tunggu dulu. Bukan masalah 2 jam kontrak itu lho yang membuat aku ingin menulis di sini. Tetapi Kyai undangan [ceramah walimatul 'ursy] malam itulah yang sukses menjatuhkan aku. Mungkin karena sangat pas dengan pengalaman pribadiku. Nasihatnya, "Wong lek shalat Ashar-e kerep telat, biasane mesthi melarat. Yo, Masiyo ndak melarat angel sugih-e." [Orang itu kalau Shalat Asharnya sering telat, biasanya pasti melarat. Ya, meskipun ndak melarat tapi susah jadi kaya.]

Berikut ini beberapa detail lamunanku, mengapa ujaran nasihat di atas pas mengena.

______________________evaluasiku******
Secara hitungan, dengan rata-rata penghasilan Rp. 3,500,000/bulan bersih tanpa pajak tanpa tanggungan, di-total selama 2 tahun bisa mencapai Rp. 84,000,000. Kalau dianggap pengeluaran 1 bulan [karena makan lebih sering ditanggung perusahaan] adalah Rp. 1,200,000 dapat bersihnya masih pada kisaran Rp. 55,200,000. Amazing!!!

That's the real life during 2 years in Batam, but nothing now.

______________________faktanya******
Tapi lari kemana itu duit? Dicuri babi ngepetkah? Mungkinkah ada tuyulisme di bank?
Kenyataan yang harus diterima, setelah ditambah bonus 2 tahun rekening hanya terisi 12,000,000. Berhenti pada angka yang dekat dengan 13 itu. Hanya jumlah itu saat aku finish contract pada bulan Desember. Memang, ada juga aset yang masih aku punya, Laptop, Handphone, Sepeda Motor, Kamera. Itu pun kalau diikutkan ndak nyanthol di angka kasar 55 Jeti.

Sepertinya memang biaya tak terduga telah membengkak di anggaranku.

Instrospeksi, muhasabah.... Perasaan, ya benar, yang aku rasakan di dalam hati ketika Mbah Najib berujar. Banyak orang seperti itu [aku salah satu], kata beliau, bahkan yang sudah mendapat title kyai pun. Hmm.... Kalau ditilik kembali, aku hampir tidak pernah shalat Ashar tepat waktu selama di Batam. Jauh lebih sering terjadi kombinasi manggung bareng antara shalat Ashar dan Maghrib [ckckck, that's real].

Memang, pada jam-jam itu adalah waktu tersibuk di perusahaan. Mengingat semua preparasi Shipping sedang urgent - urgent-nya. Tapi kalau dilihat, ada juga yang bisa tepat waktu. Dan selalu menjaga seperti itu. Dan mereka juga bukan orang yang nganggur, karena memang tidak ada orang nganggur di perusahaan model Jepang ini. Jadi permasalahan kembali pada diri masing-masing. Seharusnya, ...

Ya, memang aku harus mengakui. I must admit it. Lebih sering kita merasa 'tanggung' dengan pekerjaan ketika Adzan Ashar dikumandangkan. Sebentar lagi istirahat. Masih 'tanggung' juga. Sebentar 5 menit lagi. Memang siapa yang mengingatkan?!!

Fakta, 5 menit itu = 2 jam. How come!!!

Logic-nya bagaimana, sih? Kalau aku yang harus jawab pertanyaan itu, entah benar atau salah, faktual juga. Bukan hanya sekedar teori yang berbau agamis. Let's see. Sebagai seorang muslim, tentu dalam hati kecil terbersit 'saya punya tanggungan' saat menunda shalat. Meskipun itu sedikit. Verba TANGGUNG kemudian menjadi satu kalimat yang menguras konsentrasi. Tanggung pekerjaan dilawan dengan rasa tanggung jawab [sekali lagi meskipun sedikit]. Alhasil ada dua hal yang sedang melayang-layang di dalam pikiran kita. Fokuskah kita pada pekerjaan? Totalkah kita mengerjakan tugas?

Ternyata pekerjaan yang membuat kita menunda shalat pun tidak fokus kita atasi. Lalu berapa lama masalah itu tidak terselesaikan. Apakah ujung-ujungnya kita harus pulang telat? Jika kemudian kita berpikir, "Ah, pasti telat. Santai saja lah, pelan-pelan. Sekalian Over time." Bisa dipastikan kita pulang telat. Bagaimana jika keadaan ini terjadi setiap hari? Dan mungkin hari Sabtu pun kita harus masuk. Dan tentu kita masuk bukan dengan modal totalitas, karena sering kita membayangkan sesuatu yang seru yang bisa kita lakukan jika kita tidak masuk kerja di hari Sabtu.

Surely, biaya untuk menghibur diri dari tekanan di atas tidak murah. Bahkan sebelum bel pulang, semua rencana 'mahal' sudah menggelayut merajuk dalam angan-angan.

It's Expensive!!! And drained your wallet.



Benar salah itu relatif.

19 Mei 2011, Sumberagung, Blitar.

0 Komentar:

Posting Komentar