Smiley

2:22:00 PM
0
Seolah tidak memberi waktu, PT. Tjokelat Moeda Indonesia langsung memberi instruksi untuk terbang ke Batam sebelum akhir bulan. Jika saja akhir bulan tidak menempel pada akhir tahun mungkin nyaman saja. Tetapi hanya sehari setelah Natal, pasti masuk ke dalam ramainya para turis yang akan menyeberang ke Singapore untuk merayakan tahun baru di sana.

"Tiket akan kita ganti, Mas. Ini juga teman-teman yang lain berangkat minggu ini. Jadi jangan sampai senin, lah." Ah, padahal inilah penerbangan perdana sebagai awak pesawat berbayar. Aku bukan kru jadi harus membayar tiket secara normal. Hampir sejuta dan itu adalah uang yang jauh lebih besar dari yang masih tersisa di dompet. Maklum, tabungan dari mengajar ngaji kira berapa ratus ribu saja.

"Wah, ini lagi cari tiket yang murah, Mbak. Bisanya berangkat setelah hari Jumat, masih cari-cari referensi."
"Oke, Mas. Ditunggu kedatangannya, nanti hubungi nomer ini jika sudah sampai di Batam. Kami akan jemput di Bandara. Jadi tidak usah khawatir, pesawatnya nggak akan nyasar, koq." Benar juga, sih. Kecuali jika cuaca burung sedang menang.
"Baik, Mbak. Setelah dapat tiket nanti Saya kabari lagi." Oh, Desember! Semoga ini bukan Desember terakhir.

Selain tiket, masalah yang masih mengganjal adalah survival. Apakah bisa, hidup selama sebulan sebelum gajian?! Kira-kira hanya separuh harga tiket yang ada di kantong saja akan tersisa. Karena tidak ada agen tiket yang terlampau jauh harganya, semua mengarah pada angka yang sama. Memang tiket lusuh itu dapat di-reimburse sesampai di Kantor. Tetap saja, kan ...

Karena itulah Aku mulai berimajinasi dalam memikirkan misi bertahan hidup, sambil mengulang kembali seri anime naruto shippuden Norumakuriā. Mungkin Aku harus meniru Deidara yang memanfaatkan warga sipil untuk melawan Gaara. Memang harus ada yang dimanfaatkan, meski hanya handphone smart fren cdma. Menurut ilustrasi HRD, mes yang akan ditempati karyawan baru dulunya ditinggali karyawan cewek. Mungkin selain bau harum, masih ada tersisa beberapa perabotan memasak.

"Ah, biasanya juga baru tengah hari makan. Ditambah jatah tumpeng makan malam. Sudah terbiasa dengan tahu-tempe, dan sayur balap." batinku. Sambil mengomentari Gaara yang sedang kesulitan menjinakkan bom yang digunakan Deidara. Unik juga jurus ahli seni bom tersebut. "Setidaknya, Aku punya jurus mie rebus, kan." Ah, terbayang yang tidak-tidak saja. Padahal makan siang juga di kantin dan gratis, puasa sedikit lah. 

Menghilang dari Peredaran
tempokini.com

Melaju dengan suzuki katana long menuju Bandara Juanda, diantar sekumpulan 'preman lembut' yang penasaran dengan Juanda. Wadyabala asrama antusias sekali sementara yang akan berangkat begitu cemas. Sedang membayangkan kehidupan setelah lolos dari udara. "Jika, hari ini menjadi yang terakhir bertemu. Mungkin Aku perlu tanda untuk memulai kembali," sent. Kata yang telah berkali-kali Aku edit itu sukses terkirim ke dalam sebuah nama kontak yang selalu tampak rahasia, SAVe

Pertanyaan yang terdengar seperti suara angin ribut di kursi belakang Aku tanggapi sekenanya saja. Tangan sedang asyik mencari diksi pada layar hape. "Ke sananya nanti gimana, Mas?" dari Siro San yang tidak biasa mengkhawatirkan orang. Tumben tidak tidur di mobil, biasanya langsung mendengkur begitu mobil kena start

"Alhamdulillah, ndak merangkak." Ustadz ulum menimpali sambil tergelak. Sambil mengatakan kalau akan ada jemputan dari kantor. Tinggal duduk manis seperti sekarang. Masih saja dengan sindiran yang biasa, karena Aku tidak pernah mau latihan nyetir. Yah, hingga akhirnya berangkat pun tidak sempat juga merasakan pedal gas mobil.

Hanya menulis kata pamit saja sampai habis waktu perjalanan. Padahal kemaren sempat berpikir untuk menelepon saja. Sayang, sampai tadi pagi tidak mampu mengumpulkan keberanian. Jadi tangan yang katanya berani, mulai berusaha mengetik sejak pintu mobil Aku buka. Bahkan seat belt hanya terkalung dan tidak klik, sudah abai sekali. Mungkin butuh kursus, merangkai kata. Seperti lirik jamrud yang dulu biasa Aku nyanyikan bersama geng 2-1 ketika jam istirahat. Dulu kelu merayu, sekarang benci berpamit. 

"Rusy, ini hp buat kamu. Nanti kalau ada sms atau telpon bilang Aku sudah berangkat ke Batam." Adikku mengangguk saja, meski tampak keheranan dengan Aku yang pergi tanpa membawa alat komunikasi. Namun Aku meyakinkan dengan tegas, melalui tatapan saja. Sudah kuputuskan sejak semalam, Aku akan menghilang dari peredaran. Paling tidak sebulan, agar Aku bisa menyembunyikan semua keluh kesahku dari orang-orang Surabaya. Terbang perdana ini adalah perjuangan hidup atau mati, tidak kembali kecuali telah selesai. Atau memang tidak akan pernah kembali.

"Hati-hati, Mas," Rusydi tampak kelu juga. Meski selama ini kami juga tidak sedekat sahabat. 
"Lha, apa 2300 ini sampeyan bawa, Gas?! Masak berangkat ndak bawa-bawa senjata apa begitu," Ustadz Ulum menasehati.
"Tidak apa-apa, tadz. Kan sudah terkenal di sana surga HP." Aku beralasan sedang pengen hape baru. Sambil membahas Nokia 1800 yang sudah lama masuk dalam pikiran.

Boarding time sudah dibuka, begitu yang Aku dengar dari TOA informasi. Sepertinya memang pakai TOA juga, meski versi modern. Maka segera Aku mengulurkan tangan dan bahu untuk berpisah. Perpisahan yang akan terasa panjang, tanpa kehebatan komunikasi era modern. "Kalau sudah sampai kirim surat, Mas!" Rokhiem yang jahil nyeletuk dengan keras. Haha ... Senyum terlebar Aku jadikan kesan penghantar kepergianku. Hari ini, di akhir Desember, Aku berangkat bersama drama. Pantang pulang sebelum senang!

Orang kecil seperti kami, menghibur diri dengan drama. Karena bisa merasakan sejuknya pendingin di ruang tunggu bandara juga karena sering menonton drama. Terbayang-bayang sehingga menjadi cita. Dan kini, Aku berusaha memadu-padankan kondisi aktual di bandara. Dan, uang receh yang ada di dalam tas membunyikan alarm. Mungkin uang kuno tahun 71 yang masih benar logam. Dan juga kunci-kunci yang sudah tidak ada gunanya, yang masih tersangkut di dalam saku celana. 

Baik sekali Bapak petugas memastikan seluruh tubuhku aman. Maaf, Pak. Dari desa, baru pertama menginjakkan kaki di bawah metal detector. Tatapan heran Bapak juga tidak akan membantu proses pemeriksaan. Kecuali jika itu sebuah senyum, yang punya kekuatan meringankan kikuk orang desa seperti kami.

Bersambung ...     
Posting Lebih Baru
Kembali
Paling Lama

0 Komentar:

Posting Komentar