Ah, kan Aku memang sedang akan pergi lama. Lama tidak kembali, untuk dua tahun kontrak kerja. Wajar jika kemaren sempat mengosongkan lemari dan memindahkannya dalam 1 kopor, dan .... tas wisuda berwarna merah menyala cap Tugu Pahlawan. Sudah mirip ibu-ibu jamaah wisata religi. Dan yang perlu menjadi rahasia kita bersama, dalam tas warna merah itu terdapat satu bungkus nasi lengkap dengan lauknya. Takut tidak kebagian makanan di warung, sih.
"KTP/SIM!" petugas bernama perempuan itu menyebutkan syarat seperti biasa, setelah tiket diserahkan.
"Di dalam tiket, Mbak," jawabku sambil tidak berhenti tersenyum. Tentu tanpa menampakkan gigi, karena itu rawan penafsiran.
"Silahkan," perempuan yang tampak manis di dalam seragam angkasa pura itu memberi tanda untuk menyerahkan bagasi. Meletakkan semua barang bawaan ke atas timbangan digital yang tadi sudah Aku hafal batasnya. Kecuali tas bermotif sarung yang sering memicu salah faham, Aku pasrahkan kepada mereka. Seandainya saja mereka tahu asal muasal tas kesayangan tersebut, pasti akan segera terpecah menjadi dua kubu yang saling berbantahan.
Masih ada cukup waktu untuk singgah di surau, entah apa namanya jika memang ada di bandara ini. Aku segera memandang lebih tinggi mengarah kepada tanda-tanda yang menunjukkan jalan. Berharap ada logo yang sudah langsung bisa dikenali. Seperti logo persegi yang mengajak untuk tambah bensin di pinggir jalan. Beruntung dulu ada mata pelajaran tanda-tanda lalu-lintas saat sekolah dasar. Sedikit akurat tapi bermanfaat, yang berlogo sendok dan garpu terutama. Ah, Aku lupa tidak mengambil sebungkus olahan dapur yang tadi.
---
Semua yang ada di dalam pesawat terasa baru, meski sudah tampak daki-daki penumpang yang mengotori bangku penumpang. Terutama suara yang seolah menekan gendang telinga tanpa mampu dikendalikan. Jika dulu berayun dengan girang di pekarangan rumah, kini jantung rasanya dibanting-banting. Seketika telinga menjadi hening, sepertinya sudah banyak yang masuk ke dalam telinga. Sehingga semua terdengar kosong, hanya beberapa teriakan yang jauh menggema dari gerakan orang di samping. Dekat namun terdengar sangat jauh. Entah patut disyukuri atau ...
Semakin lama suara-suara itu seolah hilang berganti dengan lompatan-lompatan yang terhitung sering. Mengapa Bapak Pilot ini senang melewati jalan berlubang, ya. Meski telinga sudah berkurang kenormalannya, tetapi kulit menjadi begitu peka terhadap semua getaran. Mata yang terpejam bahkan semakin membuat seluruh kulit sensitif. Maka mulailah Aku mengikuti jejak orang-orang yang tiba-tiba religius di sekitarku. Ah, benar juga. Kalau jatuh, ....
Tidak kusangka terbang juga memiliki efek seperti saat pertama jumpa dengan Si Dia. Berdebar tak tentu, satu jam rasa sehari. Jangan-jangan pesawat ini sedang tidak menggunakan mesin jet-nya demi penghematan. Dipaksa berjalan di atas awan dengan ongkos murah dengan mematikan beberapa mesin jet. Rasanya ingin melompat saja, tapi jika memang itu solusi untuk hidup, sih. Barangkali, Aku tidak pernah kelu di depannya jika sejak dahulu sudah pernah terbang. Mungkin itu bisa menyelesaikan segalanya ketika nanti pulang, ke kota Pahlawan. Dan menjadi pahlawan berkuda putih untuk dia.
Aku benar-benar menjadi pendiam selama penerbangan, semoga kawan sederet ini berteriak syukur di dalam hati. Karena mendapatkan tetangga yang duduk manis, meski banyak penumpang yang berteriak histeris saat tadi pesawat sempat melalui awan tebal. Semacam polisi tidur yang diameternya 50 senti, dan dilabrak dengan cukup kencang karena tersembunyi dalam gelap. Begitu terasa goncangan di bagian bawah, rasanya jantung ini kembali berdetak seperti biasa. Aman. Daratan. Gerimis, pun tak apa.
Para penumpang berebut dengan cekatan untuk segera berteduh ke arah gedung bandara. Tidak sempat untuk sekedar melihat pesawat yang membawa mereka, setidaknya memastikan pesawat itu baik-baik saja. Ah, boro-boro, Aku sendiri sedang mengumpulkan banyak info dari setiap penanda dan apa yang dilakukan oleh para petugas. Mereka bekerjasama mengarahkan penumpang untuk segera menuju, emm ... pengambilan bagasi katanya. Tidak bisa Aku tolak juga untuk mengingat sebungkus nasi yang malang tadi. Haha ... Sekiranya ada petugas yang kelaparan dan mengambilnya pun Aku ikhlas. Kasihan nasinya, baru pertama kali naik pesawat juga.
0 Komentar:
Posting Komentar