Smiley

0
"Pa, kapan pulangnya?" lirih dan menyentuh, sebuah suara dibalik telpon seluler. Kalau tidak bisa dikatakan tercampur dengan tangisan, rengekan. Hatiku seketika hancur, oleh kekuatan aneh suara kecil itu.
"Iya, Kakak. Ini sudah mau siap - siap," jawab Pak Manager dengan suara serak, sangat. Dia tahu masih banyak hal yang tidak bisa Dia tinggalkan saat itu. Aku tahu dari keluhan kecilnya saat menutup telpon.

---

Cerita - cerita seperti di atas akan sangat sering Anda dengarkan di kantor, jika Anda menjadi bagian industri manufaktur. Banyak hal - hal yang terpaksa kita jalani karena tuntutan dunia, tentang apa yang penting dan tidak. Waktu yang kita habiskan di luar, memisahkan setiap anggota keluarga, menjadi potensi kesalah-pahaman yang luar biasa. Inilah hidup yang sesungguhnya, berada di dalam permukaan gaya hidup yang indah di luar dan terlihat menyenangkan. Polesan kapitalis yang telah mengakar sebagai akibat industrialisasi. 

Apa yang kita rasakan sangat jauh berbeda dengan apa yang dilihat orang. Sebagian kita penting menjadi indah dalam pandangan orang lain. Karena memang itulah eksistensi yang kita pilih. Tetapi sungguh beruntung bagi yang memilih untuk bertahan tanpa motif. Berpikir tentang masa tua yang mungkin tidak akan lama lagi. Karena waktu dalam kesibukan sungguh tidak benar - benar terasa sebagai 24 jam sehari. Kita sering mendengar bagaimana seorang Ayah dapat berubah menjadi om - om asing. Kita sudah biasa melihat, seorang anak kecil yang berlari ketakutan karena pelukan seorang Ibu terasa asing.  

Aku tidak pernah berpikir masalah seperti ini akan menjadi kompleks dalam kehidupan. Awalnya, karena ingin melupakan banyak hal, ingin berlari sejauh - jauhnya dari masa lalu. Aku terjebak dari sandiwaraku sendiri. Tanpa kabar, orang mulai berpikir tentang hidup yang indah. Apalagi dengan bantuan facebook, yang mampu membuat semua terlihat indah dalam setiap status. Padahal banyak hal palsu, untuk menutupi kesendirian yang sombong. Tidak ada yang benar - benar nyata, dalam kebahagiaan. Individualisme, materialisme, hedonisme, hal indah yang mengikuti kesibukan - kesibukan penuh tekanan. Itulah industrialisasi yang merubah manusia - manusia berhati kosong, menjadi orang asing.

Apakah kemudian kita harus menjauh dari dunia? Lepas semua kepalsuan yang menawan itu. Tentu saja itu tidak mungkin, keekonomian era industrialisasi memberikan potensi kesejahteraan. Karena sesungguhnya kita ini kosong dalam ilmu. Masalah utama dari banyak kita, yang menghabiskan banyak waktu sia - sia. Ada seorang kolega, buyer, yang sempat Aku kenal. tidak perduli seberapa keras tekanan pekerjaan, senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. Ketika rombongan komunitas turf berangkat ke kasur di sepertiga malam, alkisah kolega itu bangun bertahajud. Dan di subuh yang dingin, tetap berangkat ke mushola kecil yang cukup jauh dijangkau dengan jalan kaki. Perbedaan mencolok tentang dalamnya pemahaman ilmu dan iman. 

Sebagian besar kita tidak pernah benar - benar sadar tentang semua hal ini, hingga saat kita tersungkur. Karena memang semua sendi kehidupan telah didesain begitu masif dan terencana. Siapa mengira televisi yang dulu begitu mengagumkan, karena butuh perjuangan untuk sekedar menonton acara televisi. Begitu luas cakrawala dunia yang kita asing dan mengagumkan. Membuat seorang anak kecil pengangkut gabah bermimpi tetang hidup baru. Namun sekarang, televisi itu telah merebut banyak ikatan, memaksa kita perang untuk memperebutkan remote control. Televisi telah berubah menjadi milik pribadi yang harus ada dan menemani kita berangkat tidur. Televisi menuntun kita dalam kehidupan.

Bosan dengan televisi dan mulai sadar, ada banyak hal lain yang kemudian menggantikan. Smartphone, tablet, dan teknologi telah mencuri kegemaran kita untuk membaca. Memisahkan kita dengan masa - masa indah bersama buku, digantikan oleh Mbah Google yang serba tahu. Kita terpisah oleh dunia, dengan diri kita sendiri. Tentang siapa kita sebenarnya. Kita dapat saja beralasan islami, berdakwah dengan teknologi. Tetapi kita lupa bagaimana berhubungan dengan manusia - manusia nyata di sekitar kita. Kita seperti tikus kecil yang penakut, minder, dan asing. Kita lupa caranya menyatukan individu dalam masyarakat sederhana yang indah. Karena kita terbiasa untuk menghapus apa - apa yang tidak sama dengan kita di dunia maya. Kita semacam memiliki kegemaran baru, menjadi penafi apapun di luar kita.

Garis Lurus

Terpisahkan oleh dunia, bisa jadi membuat kita sadar betapa kecil kita. Betapa tidak signifikan dalam dunia. Terpisahkan oleh dunia, kita terlihat gagah dengan fatamorgana. Dalam kehausan dan lupa dengan oase kehidupan yang sedang kita cari. Terpisahkan oleh dunia, kita larut dalam gerakan berjamaah dalam kesemuan. Ketika dunia menjebak kita untuk ikut menikmati padang pasir tanpa air. Jiwa kita kering oleh keilahian. Demi sebuah teori mata dan fakta yang nyata saja. Kita lupa bagian diri kita yang lain, yang selalu menuju langit, rabbani. Jiwa kita kering dan sakit.

Kita terpisah dengan senang hati, sukarela, volunteering. Tidak ada yang memaksa kita, karena memang kita tertarik dengan senda gurau itu. Oase itu, tetap di sana menunggu kita dengan sabar. Kadang membangunkan kita dengan percikan airnya. Lain waktu mengingatkan kita dengan bau tanah basahnya. Atau membuat kita sadar melalui proses dalam sebuah siklus alam besar yang membuat porak poranda dunia khayalan yang sedang kita bangun. Dalam bencana - bencana kecil, atau musibah - musibah besar. 

Seandainya, hati kita terpisahkan dari dunia. Seandainya hati kita tidak bertaut pada dunia. Seandainya kita selalu melihat dengan hati kita. Ah, seandainya. 

  25 Rajab 1436 H


  

0 Komentar:

Posting Komentar