Benarkah bulan Ramadhan adalah bulan suci bagi muslim? Perlukah menjaga dengan ''keras'' bulan Ramadhan ini? Sepertinya kita memang sepakat dengan keistimewaan bulan Ramadhan. Walaupun kita sering melalukan saja bulan Ramadhan seperti bulan yang lain. Kenapa kemudian kita peduli ''lagi?''
Memang, sesuai dengan definisi ulama' tentang bulan suci sebagai bulan haram, Ramadhan tidak masuk dalam hitungan. Sebagaimana telah diwahyukan dalam surat At-taubah: 36. Dan juga dikuatkan dalam hadits Rasul SAW (Shahih Bukhari no. 3197 dan Shahih Muslim no. 1679a). Bahwa,
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”
Ibnu katsir dalam tafsirnya juga menyebutkan keempat bulan tersebut sebagai bulan haram, bulan suci. Haram dalam maksud yang berhubungan dengan kegiatan berhaji dan umrah. Yang didalamnya diharamkan pembunuhan dan terdapat penekanan untuk menjauhi perbuatan haram yang lain. Dan juga dianjurkan untuk memperbanyak amalan puasa. (lihat di sini)
Dalam konteks keseharian kita, kita sudah terbiasa untuk menyebutkan bulan istimewa sebagai bulan suci, sacred month. Meskipun dalam segi keilmuan, memang definisi al-haram ini yang muncul. Dan kiranya, definisi bulan suci ini telah banyak membuat kita melupakan al-haram dan menganggap setahun adalah bulan Ramadhan sebagai bulan suci saja. Mungkin karena di bulan ini lah kita berbondong - bondong untuk kembali pada kegiatan 'ubudiah. Umat demikian fokus dalam Ramadhan, sehingga tak jarang gangguan musuh islam ditanggapi amat serius. Semacam ada razia ormas islam, misalnya. Tempat - tempat maksiat ditutup untuk menghormati kesucian bulan Ramadhan.
Memang kebiasaan ini telah memberikan berkah tersendiri bagi kita umat islam. Karena begitu banyak penghormatan, sehingga memudahkan umat dalam beribadah. Banyak sekali manfaatnya bagi kita. Sayang, kini menyambut Ramadhan tinggallah budaya semata. Sebagaimana budaya yang lain yang berakhir sebagai tontonan dan wisata semata. Ditinggalkan esensi dari Ramadhan. Seluruh umat begitu terpesona dengan liku - liku budaya umat islam selama Ramadhan. Bahkan umat agama lain juga ikut merasakan budaya yang luar biasa ini. Ngabuburit. Alangkah indah budaya islam sebagai ''penyedap mata''. Umat islam disibukkan untuk menghormati umat lain yang tidak berpuasa. Bahkan juga sibuk menjaga diri, untuk menghormati saudara muslim yang tidak berpuasa.
Demikian berkahnya bulan Ramadhan, berdampak pada sektor ekonomi masyarakat hampir seluruhnya. Hampir tiap daerah terdapat pasar - pasar kaget yang memanjakan kita yang sedang berpuasa. Dan tidak hanya kebutuhan makan dan mimum saja. Seperti yang saya temukan dalam sebuah tulisan di lidawati.com berikut,
Bukan hanya industri makanan dan minuman yang menangguk untung, pertokoan pun sejak awal puasa sudah mulai di serbu para komsumen, semakin dekat lebaran maka pertokoan semakin ramai di serbu. Belum lagi pedagang pakaian di pasar-pasar tradisional maupun yang melakukan penjualan door to door dari rumah ke rumah ataupun para penjual yang melakukan penjualan secara sistem online ataupun para pedagang yang melakukan penjualan secara kredit alias mencicil. Dari gambaran itu dapatlah diketahui berapa omzet penjualan smenjelang Ramadhan dan perputaran uang, kalau diperbandingkan tentu nominalnya lebih besar dari produk makanan dan minuman.Saya belum bisa berhenti mengurai keberkahan Ramadhan di semua sektor. Karena ternyata keberkahan bulan Ramdhan juga singgah pada musuh - musuh islam. Betapa banyak usaha mereka untuk menjauhkan umat dari ibadah, justru menambah pundi - pundi uang mereka. Di mulai dari acara TV yang membuat kita tertarik untuk anteng di depan layar. Meningkatkan belanja iklan yang luar biasa besar. Belum lagi isu - isu panas yang digulirkan selama kegembiraan bulan Ramadhan. Entah berapa nilai belanja yang dititipkan dalam oplah - oplah berita. Saya jadi berpikir, masyarakat umum atau rakyat ekonomi menengah ke bawah mungkin hanya menikmati sebagian kecil keberkahan ekonomi saja. Pemodal besarlah yang rakus pada berkah ekonomi bulan Ramadhan.
Ramadhan bulan Berkah, dalam budaya yang kental dalam religiusitas. Meski kita sendiri kadang bingung dengan sisi religius yang kita maksud. Di awal Ramadhan kita sibuk menyiapkan menu buka puasa dan acara buka puasa di tempat - tempat tertentu. Mungkin kita lebih banyak ingat dengan tempat kuliner yang akan kita kunjungi selama bulan Ramadhan, dari pada jumlah rakaat ketika bertarawih. Tiba - tiba sudah salam, sedang kita masih melamun dengan rencana kuliner yang belum direalisasikan. Di akhir Ramadhan kita sibuk dengan persiapan mudik. Wisata mana yang akan kita kunjungi, sementara handai taulan menjadi tempat singgah menghabiskan oleh - oleh yang hanya sebentar. Kadang hanya sekedar bersalaman, loh.
Ramadhan bulan Berkah, dan kebanyakan umat menjadi objek bagi kepentingan orang yang mencari berkah. Berkah ekonomi yang luar biasa, berkah budaya yang menyenangkan. Kita adalah korban keberkahan bulan Ramadhan, jadi tidak apalah kita lepas puasa. Kita adalah bagian kecil dalam gempita Ramadhan, jadi tak apalah kita lepas tarawih. Ah, kita jadi jauh sekali. Ternyata demikian. Entah menurut Anda yang sedang (berencana) bersemangat mengejar Lailatul Qadar.
24 Rajab 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar