Smiley

0
Aku bisa faham dengan kesedihan Bapak dalam perjalanan hidupnya. Roda berputar begitu tajam. Tetapi Aku juga faham, bahwa kebahagiaan bukanlah dalam materi. Bapak bertahan selama itu, dua puluh lima tahun, menunggu penerus. Meski ada enam keponakan yang diasuhnya seperti anak sendiri. Sehingga kemudian di masa tuanya, ketika keahliannya sudah tidak banyak laku, tersisa lelah. Dan lelah semakin bertambah, karena ketidak-berdayaannya pada saudara sendiri yang khianat. Semua yang dikumpulkan untuk masa depan seolah tidak pernah ada.

Aku bisa mengerti ketika Bapak marah dengan sangat. Saat Aku ikut Mbah Inah, memulung sampah. Karena baginya sulit untuk memahami kelemahannya yang lebih cepat dari yang diperkirakan. Meskipun Aku hanya memulung karena penasaran. Karena sedikit uang jajan tambahan. Tidak mudah, menjalani roda yang terlalu cepat berubah, ke bawah.

Tetapi adalah Emak, yang memang tangguh. Menyulap apa saja menjadi uang. Jika kemudian mengumpulkan rongsokan dimaklumi oleh Bapak. Meskipun bagiku itu sudah bukan pilihan membanggakan. Sudah tertanam malu yang terus bertambah sejak pertengkaranku dengan Bapak. Emak masih punya adik, sebagai pemain utama. Mungkin juga karena Aku sudah mulai perhitungan. Ya, karena uang jajan itu tidak mudah kudapat.

Mulailah kemudian Emak menarik kepada pekerjaan yang lebih. Mulai dari belajar mencangkul sampai ndaut. Dan juga matun sampai ngusung padi, meski tubuhku yang kecil hanya separuh tinggi sepeda pancal. Hingga kemudian berlanjut sampai nggepuk di rumah. Diriku disulap menjadi manusia penghemat anggaran. Walaupun Aku selalu rindu dengan kenikmatan santap di tengah sawah. Setelah lelah begitu, tidak bisa terlukis nikmat yang diecap lidah. Atau ketika tunggu manuk, merasakan semilir angin sambil terus memainkan plencung. Menghadapi serbuan burung pipit yang ikut merasakan keringat petani.

Jika waktunya bayar uang sekolah, Emak biasa melirik pohon kelapa gading yang mulai menghitam. Dan Aku faham harus bagaimana. Segera naik sambil nyengkelit arit. Tubuh yang kecil menjadi senjata juga. Meski pohon kelapa setinggi lima meter atau sekira itu, sering membuat jari kakiku kram. Bunyi kelapa tua harus diperiksa, untuk kemudian dijatuhkan satu per satu sampai Emak berkata cukup. Gratis, tidak harus mengupah para pemanjat kelapa seperti Pak Sauji. Kecuali untuk kelapa yang lebih besar, Emak tidak akan menyuruhku. Dan ngeri juga, sih.

Tidak berhenti di situ, Aku mulai menancapkan sumbat ke pokok lubangnya. Dan mulai mengupas kulit kepala, menyisakan sedikit untuk pegangan. Pekerjaan yang kadang bisa membuatku tidak sabar. Susah! Jika sudah begitu Emak yang turun tangan. Semua kelapa tua itu kemudian diikat menjadi satu, pada sepeda. Aku yang belum bisa naik sampai ke saddle berangkat ke toko kelontong. Menukar kelapa tua itu dengan kertas uang. Kami menyulap kelapa menjadi uang. Mungkin hal ini yang kemudian membuatku begitu sadar, bahwa sekolah bukanlah tempat kemalasan. Demi uang sekolah, Aku juga harus ikut bekerja keras. Seolah Aku sendiri yang membayar uang sekolah itu. Berat.

Dan dengan abrakadabra, Aku ikut menyulap kesenangan belajar. Senangnya pergi ke sekolah, menjadi kerinduan. Hingga ketika Emak mengatakan Aku mungkin tidak akan berlanjut sekolah, bukan Aku yang membujuknya. Tetapi tetangga yang sering disambati anaknya, karena Aku tidak mau memberi contekan saat ujian.

---

Aku juga kemudian menjadi faham, kesedihan yang bertambah - tambah. Ketika Emak harus kembali. Dan tinggal kami bertiga, lelaki yang segera saja menjadi dingin di dalam rumah. Bergerak sendiri tanpa pengikat. Faham tentang kesedihan Bapak, yang juga faham bahwa sekali lagi hartanya tak mampu berbuat banyak. Untuk orang yang dibutuhkannya. Semakin dalam Bapak menarik diri dari tetangga, tenggelam dalam diam yang sangat. Di setiap sujud malamnya, yang ditandai dengan bunyi berderit dari dipan kayu yang dibawa oleh Bibi dari Kota.

Bapak tidak secanggih Emak dalam menyulap uang. Di masa tuanya yang dibalut kesedihan mendalam. Dan kemudian melepasku ke Surabaya, kota yang pernah ditinggalkan demi Aku. Aku faham kepasrahannya, dan Aku begitu faham dengan kebebasanku. Kebebasan yang mengenalkanku pada budaya cangkruk.

Aku kemudian semakin mengerti keluh kesah Bapak selama ini. Ketika kemudian Bibi juga kembali, dan Bapak menyerah demi anaknya. Menyerah untuk hanya sekedar ikut merasakan hasil perjuangan anak - anaknya. Yang ditunggunya selama dua puluh lima tahun. Tidak penting lagi baginya, untuk melihat satu saja keberhasilan. Jika tidak kedua anaknya mendapatkan hal yang sama. Kesempatan yang sama dan seimbang. Bapak memilih kembali, dan membiarkan kami diasuh oleh doa - doanya. Aku semakin faham, kebebasan waktuku tidak akan pernah sia - sia. Sampai Aku berada pada takdir, dan pinta yang tidak pernah kudengar dari Bapak. Bapak memang tidak pernah menyulap uang lagi di masa tuanya, tetapi berhasil menyulap hatiku menjadi kaya.

7 Sya'ban 1436 H

Jelas Senja


0 Komentar:

Posting Komentar