Smiley

0
Jika hidayah adalah semangkok mie ayam, gratis, di hadapan kita. Akankah kita berandai, "jika Allah menghendaki pasti mie ayam ini akan masuk ke dalam perut." Tanpa menggerakkan tangan kita untuk segera menikmatinya. Sebelum jauh, dalam cerita ini marilah kita belokkan akal kita kepada pembahasan lain. Tentang ada hal apa hingga semangkok mie ayam bisa tersaji di depan kita, gratis pula.

Kita sering lupa bertafakur akan Maha Lathif yang melekat pada Allah. Bahwa Allah tidak pernah membedakan dalam memberikan rahmat kapada makhlukNya. Tidak ada pembeda bagi orang yang kafir dan mukmin. Semua murni karena kehendak Allah tanpa campur tangan. Begitu pula hidayah, juga diberikan kepada umat manusia seperti semangkok mie ayam gratis.

Sekarang kita tanyakan kepada diri sendiri, kenapa ada semangkok mie ayam gratis itu. Yang kita tinggal menikmatinya. Bagi banyak muslim yang telah mendapat nikmat islam sejak lahir, sesuai fitrah, analogi semangkok mie ayam ini menjadi cocok. Apa jasa kita saat kita lahir di dunia, hingga kita mendapati takdir dilahirkan dari keluarga yang muslim. Sehingga kita kemudian dengan mudah memeluk hidayah islam. Bahkan semua bayi di dunia ini punya bahasa yang sama ketika lahir, bahasa tangisan.

Kisahnya telah sampai kepada kita. Seorang sahabat yang rela meninggalkan kehidupan serba kecukupan, sebagai anak pembesar Persia, demi mencari kebenaran sejati. Seseorang yang tidak beruntung, tidak mendapatkan semangkok mie ayam gratis seperti kebanyakan kita. Salman bin Al Islam RA bertutur, "Aku pergi melintasi dataran tinggi dan dataran rendah hingga aku melintasi suatu kaum badui, mereka menjadikanku sebagai budak lalu mereka menjualku hingga seorang wanita membeliku, aku mendengar mereka menyebut-nyebut Nabi SAW dan beliau hidup mulia."

Salman Hijrah
afahrurroji.net
Mungkin Salman Al Farisi RA lebih berhak mendapatkan hidayah islam, sedangkan siapa kita yang mendapat kemudahan memperoleh hidayah. Gratis. Pernahkah kita berpikir gerangan apa yang menyebabkan Allah memilih kita dari sekian juta kelahiran untuk lahir di keluarga muslim.

Salman yang mulia itu meniggalkan kecintaan Ayahnya yang seorang Dihqan atau pemimpin di perkampungan Jayyan, Asfahan. Salman muda telah mendapat kehormatan sebagai seorang penjaga api ibadah Majusi. Ketika hatinya tertarik pada agama Nasrani, mencari jalan melalui karavan niaga yang berangkat ke negeri Syam. Memilih tinggal menjadi kawula pada seorang pendeta di gereja. (HR Ahmad 22620)

إِنِّي قَدْ رَغِبْتُ فِي هَذَا الدِّينِ وَأَحْبَبْتُ أَنْ أَكُونَ مَعَكَ أَخْدُمُكَ فِي كَنِيسَتِكَ وَأَتَعَلَّمُ مِنْكَ وَأُصَلِّي مَعَكَ

Barulah Allah menuntun ketulusan hati beliau, dengan wasiat pendeta nasrani yang shaleh. Perjalanan beliau membawanya sampai ke wadil qura, demi menemukan apa yang telah diwasiatkan. Tentang seseorang yang mengikuti agama Ibrahim. Perjuangan yang sangat berat. Sebab beliau mendapatkan musibah kemanusiaan, dijual sebagai budak kepada seorang Yahudi. Hingga perjumpaan beliau dengan Rasul SAW di Madinah, beliau telah berganti-ganti majikan. Tidak terperi. Seorang anak pembesar Persia yang kaya raya, telah menjadi budak bertahun-tahun.

Pantas jika 'Ali bin Abi Thalib memberi gelar Luqmanul Hakim, karena keluasan hikmah yang beliau dapatkan selama perjalanan mencari kebenaran sejati. Mengumpulkan apa yang ada dalam Injil dan sekaligus Quran. Apakah kita sepadan dengan usaha pencarian beliau? Hingga kemudian Allah berkenan memberi hidayah kepada kita.

Kita pasti akan akui, bahwa semangkok mie ayam di depan kita ini adalah gratis. Nikmat dari Allah yang harus kita syukuri agar selalu ditambah oleh Allah. Walaupun dalam nyatanya, kita sering menunggu datang semangkok sup tulang yang lebih lezat. Dan enggan menyantap semangkok mie ayam yang telah tersaji. Menolak semangkok mie ayam dan berharap mendapatkan nikmat yang lebih baik. Berharap tetap cuma-cuma.

Kiranya, meski hidayah adalah semangkok mie ayam gratis kita pun menolaknya. Berharap lebih dari yang telah diberikan tanpa berusaha. Berharap kita bertambah iman, namun tidak sudi berkorban. "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman. Sedang mereka belum diuji?" Sadarkah kita?! Sedangkan untuk rejeki yang telah dijamin oleh Allah kita begitu keras berusaha. Yang bahkan seekor cicak yang tidak mampu terbang pun diberi rejeki oleh Allah berupa nyamuk yang dapat terbang bebas. Bukankah seperti itu janji Allah terhadap dunia?!

Kita memang hamba yang tertukar. Menukar akhirat dengan dunia. Mengejar yang telah pasti, abai terhadap apa yang mudah lepas dari hati. Kita sewa orang untuk menjaga harta yang kita miliki, namun melepas hidayah kepada serigala lapar yang mengintai dari depan-belakang-samping kita. Allahu a'lam.

9 Ramadhan 1436 H

0 Komentar:

Posting Komentar