Smiley

0
Kita sedang dalam tren pernikahan sekarang, juga sebagai bagian kapitalisme. Maupun definitif seperti yang menjadi makna dalam kehidupan sosial sebagai institusi paling kecil. Bahkan tiga pilar (sakinah, mawaddah, wa rahmah) pernikahan sudah menjadi ujar - ujar tanpa makna. Aku tidak sedang ingin mengkritisi makna yang mengabur itu. Hanya ingin meminjam kata rahmah dari tiga pilar pernikahan. Bagaimana hati seharusnya bersikap, tentang kehidupan.

Beranda yang Kokoh

Dalam rahmah, kita tidak pernah mengiyakan satu hal buruk dari pasangan karena memang tidak bisa dirubah. Tentu hal ini tidak berhubungan dengan satu hal fisik yang tidak bisa dirubah. Karena menurutku itu masuk dalam koridor mawaddah. Dan Aku juga tidak sedang mendefinisikan manusia sebagai materi animal. Tetapi Aku ingin memandang manusia sebagai fisik (terkait mawaddah) dan psikis (terkait rahmah). Abaikan tulisan ini jika Anda sedang berada dalam rumah relativisme.

Kembali ke rahmah, kita tidak pernah mengiyakan satu hal buruk dari pasangan karena memang tidak bisa dirubah. Tetapi ada hal yang membuat kita bertahan untuk menemukan perubahan kecil. Ke arah mana? Dan karena Aku tidak berasosiasi dengan relativisme, Aku masukkan nilai kebaikan dan kebenaran sebagai arahnya. Kebaikan sebagai hal yang membuat kita bertahan dan kebenaran yang membuat kita tetap bertahan. Kebaikan boleh mengikuti hal nisbi namun kebenaran harus lah absolut. Karena di sinilah berpengaruh seberapa besar makrifat seseorang. Untuk kebenaran absolut, Aku meletakkan apa yang disebut nilai Islam. Menurut asal kata, salama, Aku tertarik membawa kata rahmah sebagai keselamatan. Dan karena itu kita bersikap demi menyelamatkan seseorang yang terhubung dengan kita oleh rasa rahmah tersebut di atas.

Inilah pembahasan menarik tentang rahmah, setelah sama - sama setuju dengan uraianku di atas tentunya. Coba tebak apa yang dilakukan oleh seorang Ibu, ketika senja hari, anak kecil mereka masih bermain tanah di pekarangan. Kalau Aku dulu ingat ketika sebatang ranting melayang ke paha, karena tidak mengindahkan panggilan Emak. Wah, kekerasan dalam rumah tangga itu. Tentu Emak tidak peduli meskipun Aku berteriak seperti itu, misalnya. "Emak jahat, kejam," dan mungkin Aku juga membatin seperti itu. Dan dengan kekuatan telepati Aku kirim sinyal kepada Emak untuk mengatakannya. Ya, karena menurut pengalaman hari sebelumnya, kata - kata seperti itu hanya menambah jumlah pukulan atau kualitas pukulan. Aku juga pernah mencoba untuk mogok kerja, dengan meninggalkan peralatan dapur yang kotor di sumur. Demi membalas dendam pukulan ranting yang membekas biru itu. Tetapi itu tidak menggoyahkan arogansi Emak sebagai kepala urusan rumah tangga.

Strategi lain mungkin Anda gunakan, berbeda dengan semua keputusanku. Dan Aku juga melihat semua anak kecil berlaku seperti itu. Bahkan, kadang senjata air mata buaya juga tidak berpengaruh terhadap Emak. Sehingga menurutku senjata ini tidak efektif di rumah. Berbeda jika senjata ini digunakan di sekolah. It's work! Itulah Emakku, tidak peduli dengan pemahamanku. Tidak peduli dengan rasa sakit yang Aku terima. Tetapi apakah begitu? Bapak yang menjelaskan tentang sikap rahmah emak tersebut kepadaku. Bagaimana caranya? Hahaha ... sama, dengan pukulan yang seolah membabi buta.

Aku, sebagai anak kecil yang masih menghapal perkalian sungguh tidak faham dengan orang dewasa ini. Apa memang Aku cuma anak pungut? Duh, malangnya nasibku yang hanya benalu kecil. Awas nanti jika Aku menemukan strategi perang yang baru!

---

Tetapi sungguh telah tertanam dalam bawah sadarku, mereka mempunyai rahmah. Ini kisah kecil yang sampai sekarang Aku masih memberi ruang khusus didalam memori. Tak pernah terhapus. Tidak begitu jelas awalnya, saat itu Aku sedang menggendong pompa angin untuk sepeda sambil naik ke sebuah tangga bambu. Dalam keadaan paling menyenangkan, dan benar - benar lupa daratan. Bermain bagi anak - anak menurutku ibarat mendapatkan bonus tak terduga dari atasan. Yang membuat kita menghabiskannya dalam sekejap. Lupa diri. Dan lupa daratan membuatku mencium daratan. Aku tidak ingat rasa sakitnya, tapi masih jelas bagaimana sebuah tangisan mempunyai efek seperti alarm pemadam kebakaran. Karena menurut hasil survey lokasiku tempat itu benar - benar aman dari Bapak atau Emak yang akan marah - marah saat kita melakukan permainan ekstrem. Namun Bapak tiba - tiba muncul, memungutku dari kekalahan, dan menambahkan 'sedikit' rasa sakit dengan pukulan membabi buta. Ditambah bonus ucapan - ucapan sukur. Hahaha ...

Dimana bagian yang membuatku faham rasa rahmah mereka? Yaitu ketika kemudian Bapak mendekat dengan wajah yang teduh, menanyakan bagian mana yang sakit. Meneliti semua bagian tubuh dan memastikan tidak ada perubahan yang signifikan. Dan informasi ini tertanam selamanya di dalam alam pikiran bawah sadar. Sampai detik ini.

Begitulah rahmah bekerja, apa yang dilakukan menyakitkan, namun bagian akhirnya sebuah kebaikan. Atau kadang membutuhkan kesabaran dan pengorbanan, karena di bagian akhir bernilai kebenaran. Dan tidak bisa tidak kombinasi dari dua keadaan itu.

Rahmah ini memang tersembunyi, dalam hal yang tidak menyenangkan. Percayalah, bahwa hal tidak nyaman tersebut tidak terjadi pada satu pihak. Rasa tersebut dijelaskan dengan baik dengan tiga pilar pernikahan dalam uraian di atas. Berurut dengan proses terjadinya, sampai ditemukan rahmah. Beruntunglah bagi seseorang yang mendapatkan makrifat kebenaran. Mereka begitu mudah menemukan rahmah.

16 Rajab 1436 H

0 Komentar:

Posting Komentar