Adakah yang lebih menarik dari sekolah? Ada, terutama karena tadi saat berangkat sekolah Aku sempat melihat ikan gabus sedang bertapa di bawah kakus tradisional di pinggiran sungai. Tepatnya di pekarangan belakang Mbah Muri. Pelajaran bahasa Indonesia tidak mampu menahan kegelisahan. Hmmm, masih ada laron kah di rumah. Atau jangan - jangan sudah dijadikan obat penyubur ayam oleh Emak. "Adi, sebutkan contoh binatang yang tertarik dengan cahaya?!" rupanya Pak Herman menangkap basah kegiatanku. "Laron," spontan kata itu yang Aku ucapkan, karena memang sedang larut dalam lamunan. Hahaha, kadang kita bisa jadi orang yang sangat beruntung dalam satu hari. Atau mendapatkan keberuntungan dalam bentuk penghapus papan tulis yang penuh dengan debu kapur, tepat di wajah. Yang sanggup mengubah kita menjadi badut dalam sekejap.
"Bos Iwak, pulang sekolah langsung ke kali saja," Bogel namanya, jago sekali memancing kemarahan orang daripada memancing ikan. Itulah mengapa dia senang sekali mengejekku. Entah karena doran pancing yang tidak jelas mana ujung mana pokok, karena aku cuma mengambil ranting bambu dan menjadikannya senjata pancingku. Lain hari dia mencaci karena doran pancing pendek seperti meteran kuburan yang Aku pakai, semacam mengalirkan energi negatif kepada dirinya. Sehingga hanya Aku saja yang dapat gondholan, dapat ikan.
Aku abaikan cacian Bogel demi menjaga kerahasiaan penampakan ikan gabus tadi pagi. Aku ambil kerikil dan melemparkan ke sungai untuk memperoleh lompatan sebanyak - banyaknya. Dan rupanya Bogel justru tertantang dan ikut bermain. Dan karena memang dia lebih kuat, puas mengejekku karena tidak bisa mengalahkannya. Tapi Aku merasa menang di dalam hati, tentunya karena Aku akan sendirian berburu ikan gabus itu.
Entah berapa menit Aku seolah hanya memandangi kakus, dan membaui semua yang tersisa seperti lalat. Ah, tidak ada tanda - tanda ikan gabus itu di sisi manapun. Tidak juga ada ikan yang menyentuh umpan, mungkin baru saja ada yang buang air besar. Jadi sudah kenyang semua. Cuma ikan - ikan kecil yang berkerumun menghabiskan umpan bangkai laron yang memang kuat aromanya. Entah sudah berapa banyak kisah yang telah tertulis untuk tugas bahasa Indonesia jika saja tadi aku membawa buku. Angin sepoi - sepoi semakin membuat terlena, siang - siang begini sungguh membuat mata menjadi gelap. Dan tidak juga Aku yang bisa tidur di manapun jika sedang mengantuk. Sambil berdiri pun bisalah, karena ngantuk itu seperti klepon hangat. Tidak bisa ditolak oleh perut kosong. Dan seperti biasa, jika setengah ngantuk begini, ada semacam pencerahan dalam dialog dengan hati.
Orang tidak benar - benar tahu apa yang kita rasakan. Mereka hanya menduga dari apa yang dilihat dan apa yang kita bicarakan. Seperti hari ini, tanpa ikan hasil memancing. Bahkan sudah hampir habis umpan dalam kaleng. Hanya bersedekah kepada ikan - ikan kecil yang tidak mungkin nyangkut di kail. Tetapi tiap hari orang masih memanggilku Bos Iwak. Rajanya mancing, sebagai olokan saat mereka merasa sering kalah dalam memancing. Padahal tidak setiap hari juga Aku memancing dan pulang mebawa ikan. Bahkan di rumah Aku sering diomeli oleh Emak, karena seharian tidak kelihatan tapi hanya pulang membawa ikan kecil yang kemudian Aku lepaskan di kolam. "Di rumah banyak kerjaan malah keluyuran," gerutunya sambil lewat saat Aku menyapu halaman. Dan Aku cuma bisa diam jika sudah seperti itu daripada harus bertengkar karena membantah.
Ada banyak hari sial seperti itu yang membuat kita mudah mengambil domba hitam dari apapun di sekitar kita. Pemancing mungkin menyalahkan ikan yang terlalu kenyang, atau kesialan akibat orang lain. Begitu juga yang Aku alami bukan? Mereka mengolok karena Aku sudah mirip domba hitam. Ya, mereka telah mengecat domba menjadi hitam dan menyamakan untuk orang yang mungkin sedang lebih beruntung dari mereka. Hahaha ... dan hari ini sedekah besar ceritanya. Tapi ya jangan salahkan ikan.
10 Rajab 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar