Pendidikan dini inilah yang kemudian membuatku sangat senang nyampah. Entah dari koran pembungkus cabe, majalah bungkus kacang rebus, atau buletin sobekan pembungkus kicak. Setiap senti kertas bertulisan itu seolah menjadi prasasti buatku. Yang harus diterjemahkan sampai ke akar - akarnya. Kadang, karena tulisan itu terputus, Aku bisa mengacak - acak barang belanjaan Emak. Berharap ada lanjutan dari kisah orang dulu yang ditulis pada tulang - tulang ilmu tersebut.
Jika itu tidak membuatku kenyang, Aku biasa menyusur tempat pembuangan sampah. Jongkok manis di antara kerumunan lalat yang kadang berwarna hijau. Hidung sudah biasa kututup dari dalam, dilarang mencium bau jika sedang asyik begitu. Aku tidak pernah peduli dengan buku warisan jadul, untuk buku pelajaran. Buku semacam itu kadang mengandung kunci terhadap prasasti penting. Yang kadang tidak diajarkan oleh Guru, tapi muncul di setiap ujian. Trik lama.
Emak memang tidak pernah membeli buku - buku cerita, daripada menu ikan - ikanan yang jauh lebih penting buat perkembangan otak. Skala prioritas yang entah bagaimana beliau temukan dengan cara yang jenius itu. Atau mungkin semacam local genius dari leluhur. Aku masih ingat saat Emak pulang dari pasar, membawa pulang sebuah buku pelajaran shalat. Emak tidak pernah capek mengajari tiap hari, cukup mengajarkan kalimat dengan oral dan memintaku melihat cara baca dibawah kalimat berbahasa arab. Beres, enak betul ya Emak ini. Begitulah keadaan pada jaman kalawingi, saat banyak orang tua lebih bingung dengan urusan perut di era 90-an. Saat televisi menjadi barang langka yang harus dinyalakan dengan bantuan aki, dan itupun hanya kombinasi warna hitam dan putih. Saat insomnia hanya disebabkan oleh cerita horor misteri mak lampir yang mengudara di saluran SW.
Namun sayang, saat sekarang buku sudah bukan barang langka, kita malah sering nyampah dengan bantuan windows. Dari tulisan - tulisan acak adul di jejaring dunia maya. Semacam kemunduran dalam berbudaya. Jauh dari buku, bahkan membiasakan membaca buku dalam satu hari pun kadang justru menjadi terapi menjelang tidur. Alias hanya untuk mendapatkan rasa kantuk saja. Ah, tidak sehat.
22 Rajab 1436 H
0 Komentar:
Posting Komentar