Smiley

0
Aku masih ingat saat Emak pulang dari pasar, membawa pulang sebuah buku pelajaran shalat. Hari itu Aku tidak berebut jajanan pasar dengan adikku. Perhatian mata kecilku semua pada buku itu. Sebuah kejutan, hingga Aku merasa takut jika kebiasaanku membaca di tempat pembuangan sampah telah diketahui Emak. Rahasia yang terbongkar. Ah, biarkan saja. Jika karena itu Aku dapat hadiah ini. "Itu di bagian bawah tulisan arab ada latin, bacanya dari situ," Ujar Emak yang menangkap rasa heran di wajahku. Terus terang, tulisan arab itu menakutkan. 

Aku memang belum lulus baca tulis arab, masih bagian awal pelajaran membaca. Belum wasis kata Simbah. Masih mengulang anakum ainakum, kira - kira. Pelajaran membaca arab memang paling berat, Emak tidak mau menambah pelajaran jika ada satu kalimat saja yang masih salah. Dari belajar niat dulu, "yang dihafalkan shubuh rak'ataini, maghrib tsalatsa rak'atain, kalau dhuhur-'ashar-'isya' arba'a rak'atain," Emak menganjurkan. "Kenapa shubuh dua rakaat saja, Mak?" tanyaku menyelidik. Emak hanya tersenyum, "kalau mau nambah, baca bagian shalat - shalat sunahnya." 

Senja Kala

Buku itu kubawa saja saat belajar shalat, sambil berdiri pun. Aku letakkan di sajadah, di depan muka sujud. Jika lupa Aku merunduk, tanpa mengulang takbir. Saat sujud mataku kadang merem, untuk menghafal. Lalu melek lagi jika ada yang hilang. Apalagi saat duduk membaca rabbighfirli, Aku sering membuka halaman. Diam sebentar, mencari halaman buku berikutnya. Membaca pelan - pelan, kadang agak menunduk untuk meyakinkan. Seperti pada bagian at - tahiyatu yang panjang, sering mengulang. Akhirnya, setelah selama ini hanya berhuwus - huwus saat ikut menirukan gerakan shalat Bapak, di belakang. Dan mengintip saat yang tepat nduding saat at - tahiyatu. Yang ternyata sewaktu membaca Asyhadu.

Senang sekali, diriku. Sering saat senja Aku buka lagi, sambil langsung praktik. Menghadap ke arah utara, karena galar kasur terasa nyaman untuk duduk. Pamanku tertawa terbahak - bahak melihatku. Tapi Aku tidak peduli dan terus saja, komat - kamit seperti membaca aji - aji jurus silat. Sedikit lirih karena merasa sudah mulai hafal. Meski Emak selalu protes dan memintaku mengeraskan bacaan. "Sambil dibetulkan," dhawuhnya. Adik yang menirukan di belakang sering membuatku lupa, karena tingkah lucunya. Jika sedang sujud, tergoda untuk naik ke punggung. Seperti biasa Dia bermain dengan Bapak. 

Praktik shalat memang berlangsung saat senja. Shalatnya maghrib, meskipun sebelum memulai Emak minta dibunyikan niat shalat yang lain. Sempat Aku membaca tadi, aurat laki - laki itu mulai lutut sampai udel. Jadi Aku bersarung dan pakai kaus kutang saja. Paman tak henti tertawa melihat tingkahku. "Itu ada di buku, koq," Aku menggerutu dan ngeyel. Dan terus menyelesaikan praktik hari itu, dan tetap isis. Hehehe ... 

Entah berapa hari, Aku sudah lupa. Terlalu asyik mengikuti arahan Emak. Malam itu praktik shalat 'Isya' sukses. Dan Aku dinyatakan lulus. "Mulai Shubuh sudah harus shalat, lima waktu," kata Emak sambil memperhatikan Adik yang ikut - ikutan shalat di belakangku. "Jadi ndak boleh pakai kutang ya, Mak?" Aku menanyakan karena Paman sudah balik ke Blitar. Kemaren sih malu. Emak balik bertanya, apakah Aku tidak malu. "Ah, betul juga, ya!" gumamku. Bapak juga tidak pernah shalat dengan begitu.

Aku menunggu Bapak shalat sambil terkantuk - kantuk. Shubuh, belajar shalat sendiri dengan benar. Buku sudah kusimpan di laci. Dan Aku mulai shalat. Rakaat pertama selesai, Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala 'alii sayyidina Muhammad, dan bangkit rakaat kedua. Dan selesai, bersalam, dan segera berdiri melepas sarung untuk menceritakan pada Emak di dapur. "Berhasil, Mak!" teriakku. Bahagia. Emak diam sambil terus menapung nasi. "Iya, tadi Emak ngintip sebentar. Tapi mengapa baca at - tahiyatu dua kali?" tanya Emak. Sepertinya menahan tawa. Aku hanya nyengir, "kenapa, Mak?" Emak tidak langsung menjawab, karena harus menyalakan api dalam pawon yang mulai mengecil. Aku bantu meniup api dari belakang, pura - puranya, sambil menunggu dhawuh. "Kalau shalat maghrib mengapa at - tahiyatu dua kali saja, apa ndak seharusnya tiga kali?" Aku berpikir keras, kenapa bisa tiga kali. 

"Ah, iya, Mak. Bapak kalau shalat maghrib at - tahiyatu dua kali saja," Aku mengingat. "At - tahiyatu itu diulang kalau rakaatnya lebih dari dua. Jadi kalau shubuh sekali saja. Coba diingat waktu kamu ikut traweh," Aku mencoba mengingat - ingat. Tetapi yang muncul di ingatan malah ketika jatuh terguling karena bercanda waktu shalat. Dan Emak yang memarahiku begitu sampai di rumah, "kalau shalat sambil bercanda di rumah saja. Ndak usah ikut traweh." Aku lihat Emak sedang memecah gula merah. "Tajin ya, Mak?!" seruku melihat gelas yang berisi minuman berwarna putih. Masih mengepul asap. Emak mengangguk, Aku langsung tahu. Karena Aku sedang sehat, jadi tidak mungkin emak beli susu. "Jangan berhenti baca buku shalatnya, biar kuat hafalnya," Emak memberikan nasehat, sambil mengelus rambutku. Sedang Aku asyik menyeruput tajin yang sudah mulai terasa manis. Hadiah yang gurih.

28 Rajab 1436H 

0 Komentar:

Posting Komentar