Smiley

2
Manusia, punya potensi untuk mementingkan dirinya sendiri. Maka tidak aneh jika kita memiliki harapan terhadap orang lain. "Apa, tepatnya, mekanisme yang mengontrol kualitas pengharapan atas perilaku orang di sekitar kita (stimulus) [1]?"  Kalkulasi sederhana (hedonis) menyarankan, "dengan menambahkan pengalaman positif seseorang (secara sadar), mengurangi dengan yang negatif, dan menghimpunnya sejalan dengan waktu," seseorang akan mendapat kesimpulan yang menggambarkan kebahagiaannya (well-being)  [2].  

Darimana pengalaman hitung-menghitung kejadian positif-negatif tersebut dapat diperoleh? Tentu dari apa yang dia harapkan dari orang di sekitarnya, terutama mereka yang paling dekat. Manusia cenderung tidak fokus terhadap apa yang dia usahakan, agar lebih positif sebelum berharap. Yang dapat membawa dampak lebih siap 'menjadi bahagia' karena telah melakukan sesuatu yang positif. Ketika kita bersikap positif akan mudah memperoleh perasaan bahagia. Karena mampu meletakkan pemicu kebahagiaan pada diri sendiri, bukan yang lain.

Para ahli cenderung kesulitan menemukan makna dari sudut pandang hedonis (kebahagiaan) yang membuat kita sibuk dengan kalkulator positif-negatif. Dalam sudut pandang eudaimonic, kemudian ditemukan cara yang lebih menyeluruh dalam memahami tingkat kebahagiaan, disebut konsep well-being. Salah satu dimensi dalam psychological well-beingpositive relations with others, adalah sikap seseorang yang hangat terhadap pribadi di luar dirinya. Penerimaan true-self manusia, dalam setiap hubungan yang dibangun. Sebagai manusia dan pribadi yang utuh, terhadap positif-negatif setiap hubungan sosial.

Jadi, walaupun secara tidak sadar kita berkaca dalam setiap perilaku orang-orang di sekitar kita, kebahagiaan tidak harus terburai. Ketika orang di sekeliling kita nampak sisi negatifnya, belum tentu sebab itu ada pada kita. Kita sedang bertemu cermin dalam setiap detik kehidupan. Tetapi, kita tetap menjadi diri kita sendiri dan mampu menerima balasan negatif dari apa yang kita lakukan. Tidak harus ada balasan yang lebih dari perbuatan baik kita, agar kita bahagia.

Secara jitu, "menjadi nyaman secara psikologis adalah lebih dari sekedar jauh dari kesedihan atau masalah-masalah mental yang lain [3]."  Ryff menyayangkan banyak praktek yang mengungkung para psikolog hanya pada pasien yang mengalami major psychological disorder. Sehingga banyak studi keilmuan mereka ditemui lebih pada masalah negatif atau penyakit mental saja. Dan lalu mengabaikan peran psychological well-being dalam mengisi kekosongan sikap positif manusia di dalam kehidupannya.

Sebagai penyederhanaan, konsep happiness yang selama ini menjadi tumpuan hanyalah satu dari tiga poin dalam konsep manusia mencapai well-being. Meski tidak sama dalam bangunannya, dua kata ini sering digunakan secara sama, tetapi para sarjana lebih suka istilah well-being untuk menghindari tidak-tepatnya dan makna konotatif dari istilah yang lebih sempit, happiness [4]. Lengkapnya; seseorang yang merasa bahagia ketika percaya bahwa mereka bahagia, seseorang yang mudah berperilaku positif secara emosional, dan seseorang yang memandang hidupnya secara keseluruhan baik.

Tren kehidupan sosial dalam masa modern kini rupanya menuntun manusia mencari makna lebih. Ketika pandangan hedonis yang begitu dominan dalam masyarakat mulai kehilangan bentuk terbaik. Ada yang rapuh dalam pondasinya. Mengapa demikian? Pertanyaan ini mendekati isu keseimbangan antara individual well-being dan collective well-being [5]. Dimana terdapat kecenderungan untuk menikmati 'sesuatu' dalam komunitas-komunitas sosial yang amat beragam. Dan mereka merasa menemukan kenikmatan yang beda ketika melakukannya bersama komunitas.

Hal ini juga sama jika ditinjau level 'rasa' yang berbeda antar individu terhadap satu hal. Misalnya seseorang lebih memilih untuk motor touring, sementara yang lain menghabiskan waktu dengan sebuah novel. Contoh pertama membutuhkan banyak biaya dan tenaga, sedang yang kedua tidak terlibat dalam kalkulasi ekonomi yang rumit. Tentu nilai dari kedua hal tersebut tidak sama, meskipun dalam segi kepuasan bagi masing-masing individu bisa jadi sama dalam skala. Begitu juga dengan yang terjadi pada pola collective well-being tersebut di atas.

Karena sempurna mengkaji pribadi di luar dirinya, seseorang akan mampu membina hubungan yang lebih hangat dengan orang lain. Cenderung memiliki beberapa sahabat yang dekat dan saling membantu dalam mengembangkan potensi dirinya. Mereka memiliki empati terhadap kondisi orang di sekitarnya, berkaca pada pengalaman hidup. Mereka secara bertanggung jawab mau memberikan sebuah kepercayaan kepada orang di sekeliling mereka. Dapat menempatkan diri sebagai mentor dan juga sebaliknya. Jadi sangat mudah menemukan pribadi yang baik ini, karena mereka mudah beradaptasi terhadap lingkungannya.

28 Syawal 1436 H


[1] Seligman, Martin E. P.; Csikszentmihalyi, Mihaly; Positive Psychology, an Introduction. (American Psychologist, Voh 55. No. 1. 5 14, 2000) hal. 12
[2]  Seligman, Martin E. P.; Csikszentmihalyi, Mihaly; Positive Psychology, an Introduction. (American Psychologist, Voh 55. No. 1. 5 14, 2000) hal. 11
[3] Ryff, Carol D.; Psychological Well-Being in Adult Life. (Current Directions in Psychological Science, Vol. 4, No. 4, 1995: Blackwell Publishing) hal. 103
[4] Wright, Thomas A.; Cropanzano, Russell; Psychological Well-Being and Job Satisfaction as Predictors of Job Performance. (Journal of Occupational Health Psychology Vol. 5, No. 1, 2000: the Educational Publishing Foundation) hal. 84
[5] Seligman, Martin E. P.; Csikszentmihalyi, Mihaly; Positive Psychology, an Introduction. (American Psychologist, Voh 55. No. 1. 5 14, 2000) hal. 12

2 Komentar:

  1. Benar mas... ketika kita melakukan pemikiran yang positif, hal disekitar kita pun akan ikut positif

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, kita bisa merasakan itu ... :-)

    BalasHapus